Dalam teori chaos (kekacauan), efek kupu-kupu adalah saling ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal sesuatu. Suatu perubahan kecil saja pada suatu tempat atau kondisi dalam sebuah sistem yang tak linier, akan mengakibatkan perubahan besar pada kondisi atau keadaan yang terjadi kemudian.
Teori chaos berkaitan dengan sistem yang sepintas tampak tidak teratur di alam: pohon, garis pantai, awan, yang sifatnya acak dan anarkis. Namun, bila bagian-bagian besar ini diamati dalam bagian yang lebih kecil, akan tampak bahwa sistem yang besar itu ternyata terdiri atas pengulangan bagian-bagian kecil yang saling berhubungan.
Efek kupu-kupu ditemukan E.N. Lorenz, seorang peneliti meteorologi asal Amerika Serikat, pada tahun 1961. Ia menerbitkan studi teoretis tentang efek ini pada 1963. Ceramahnya tentang efek ini pada tahun 1972 terkenal dengan judul “Does the flap of a butterfly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas?”
Maka, efek ini menjelaskan tentang kepak sayap seekor kupu-kupu di hutan hujan Brasil, yang menyebabkan perubahan kecil dalam atmosfer bumi. Namun, perubahan kecil ini ternyata sanggup mengubah jalur tornado di Texas dengan cara memengaruhi persamaan matematis yang menyebabkan perubahan tekanan udara, yang menghasilkan tornado.
Burung cempala kuneng yang gagal dapat jodoh di lampôh pala Aceh Selatan karena tak mendengar suara gemercik riam (sungai kecil) gunung, dalam teori ini, akan mengakibatkan seorang mahasiswa di Bandung drop out, urung jadi sarjana. Lalu urung juga jadi menantu orang. Lalu frustrasi, dan akhirnya bunuh diri. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Lalu apa hubungannya efek kupu-kupu dengan tren tanaman hias, seperti yang diterakan dalam judul tulisan ini?
Tren memelihara tanaman hias akhir-akhir ini sudah berkembang menjadi fenomena. Bukan sekadar klangenan ibu-ibu rumah tangga saja, tanaman hias sudah menjadi komoditas bisnis yang menggeser jual beli model lain menjadi nomor sekian. Satu tanaman Monstera adansonii berdaun tiga helai bisa berharga sepuluh juta rupiah. Apalagi dari subspesies variegata-nya. Monstera adansonii Variegata bisa tembus delapan puluh juta rupiah. Seorang petani tanaman hias di Bandung bahkan konon sempat mengeruk dua ratus juta rupiah dalam sehari gegara menjual tujuh puluh pot tanaman hias!
Di sini kita tidak akan memeriksa reaksi kimia apa gerangan yang ada di dalam benak penggandrung tanaman. Yang akan kita lihat adalah efek kupu-kupu yang terjadi di lapangan ketika seorang kasmaran meminang tanaman yang diminati—baik secara ikhlas mau pun paksa. Karena peminangan tanaman pun bisa terjadi secara paksa. Kapan? Ketika kita menyerabut sesosok tanaman dari habitat alaminya. Hutan misalnya. Atau tepi sungai.
Tanaman hias yang paling bergengsi saat ini, keluarga monstera, adalah tanaman merambat dari keluarga Araceae asal Panama, Amerika Tengah. Lewat tangan para penjelajah Eropa, tanaman ini sampai di Bumi Suwarnadwipa. Tanah Sumatra rupanya cocok dengan si imigran cantik ini sehingga monstera dengan cepat berkembang biak di seluruh pelosok Pulau Emas.
Di habitat alamiahnya, monstera adalah suatu “physical ecosystem engineering”, sebuah gedung apartemen multilantai tempat berbagai satwa tinggal. Katak pohon, siput, serangga, bahkan juga burung-burung kecil. Hewan-hewan ini merupakan sumber energi (makanan) bagi satwa yang lebih besar. Ular, burung pemangsa, dan sebagainya. Pada gilirannya, hewan pemangsa juga akan menjadi sumber energi bagi apex predator, yang ujung-ujungnya berakhir pada manusia.
Mengambil monstera (atau tanaman lain yang sedang ngetren) dari hutan tampaknya tindakan biasa yang takkan mengubah apa pun. Toh, tanaman itu diambil untuk dipelihara. Jadi dia bakal hidup juga, kan. Bahkan mungkin lebih enak hidupnya, karena dipelihara di rumah mewah, disiram dan dipupuk. Namun, bagaimana nasib hewan-hewan yang tinggal di Apartment Grand Monstera tadi? Tentunya akan seperti penghuni kompleks perumahan yang tergusur!
Ah, kan hanya satu tanaman, pasti tak banyak pengaruhnya, mungkin begitu pikiran orang awam . Masalahnya, segala sesuatu di dunia ini adalah elemen dari sebuah grand design yang saling tergantung. Kepak sayap kupu-kupu di hutan Brazil dapat memengaruhi tornado di Texas, ingat? Begitu juga penggusuran Apartment Grand Monstera. Apakah kita berpikir hanya sekadar memindahkan tempat tumbuhnya saja? Coba pikir: tanaman yang diambil oleh tangan-tangan jahil atas nama pencinta keindahan (baca: tanaman hias) tadinya adalah rumah bagi seekor katak pohon. Karena telah diambil monstera itu, lalu dipindahkan ke pot di rumah pengambilnya, si katak terpaksa cari rumah lain. Karena katak mencari rumah lain, ular pemangsanya juga ikut pindah. Lalu, pohon tempat tinggal mereka ternyata dihuni juga oleh lebah madu.
Lalu, datang seorang pencari madu hendak memanen sarang lebah, apesnya ia tidak melihat ular yang baru pindah apartemen. Ular yang kaget, merasa terancam, mematuk si manusia. Pencari madu tewas. Akibatnya, empat anaknya menjadi yatim. Karena ayahnya sudah tiada, empat anak itu tak ada yang mencarikan nafkah. Tiga putus sekolah, yang sulung, bocah 14 tahun, terpaksa pergi bekerja ke kota. Jadi copet. Suatu kali dia nahas, tertangkap, digebuki sampai mati. Peristiwa ini mengilhami para politikus untuk melakukan impeachment pada kepala pemerintahan yang dianggap tak becus melindungi rakyat. Maka kepala pemerintahan pun dimakzulkan… oleh sesosok tanaman monstera yang telah dipindahkan dari habitat alaminya! Lihat, betapa tidak sederhana dampaknya.
Sebagai muslim, efek kupu-kupu ini seharusnya mengingatkan kita pada ayat Al Qur’an surah Luqman: 16:
“Yaa bunayya, innaha intakmitsqala jannatim min khardalin fatakun fii shakhzati aufiissamaawaati uufil ardli ya’ti bihallahu; innallaha lathiifun khabiir.” (Luqman berkata: wahai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Apa pun yang kita kerjakan, sekecil dan seremeh apa pun, akan membawa akibat pada segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Kita boleh saja berpikir bahwa mengambil tanaman dari hutan (karena lagi ngetren) takkan berakibat buruk bagi lingkungan hidup. Namun, tidak begitu menurut Teori Chaos. Tidak begitu juga menurut Al Qur’an.
Lain waktu, sebelum melakukan apa pun, apalagi sesuatu yang sebesar memindahkan sebuah “apartemen”, lebih baik berhenti dan berpikir. Apakah gara-gara saya mencabut tanaman ini, akan ada kepala pemerintahan yang kena impeachment?
Tak ada salahnya berpikir dan bertindak bijak. Tren itu akan berlalu. Namun, hasil perbuatan kita akan permanen efeknya dan yang kena adalah anak cucu kita sendiri juga. Ironisnya, pada saat yang bersamaan kerap kita mengumbar “kepedulian” di media sosial, ayo jaga dan lindungi lingkungan. Aduh![]
Penulis adalah pemerhati isu HAM, perempuan, anak, dan lingkungan, pegiat di Komunitas Perempuan Peduli Leuser Aceh. Artikel ini dipublikasikan di situs AcehTrend.com 26 Januari 2021.