Kategori
Edukasi Aksi

Peran Penting Masyarakat Sipil dalam Penyusunan Rancangan Teknokratik RPJM Aceh

Sejumlah peserta dari organisasi masyarakat sipil (CSO) mengikuti pertemuan dalam rangka penguatan kapasitas gerakan masyarakat sipil untuk memahami Rancangan Teknokratik RPJM Aceh dalam Perencanaan Daerah Tahun 2025—2029 yang diselenggarakan oleh Flower Aceh dan Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI) di Hotel Fhandika Boutique Banda Aceh, Kamis (19/7/2024). Kegiatan ini berlangsung sehari penuh dan menghadirkan dua narasumber, yakni Cut Vivi Elvida dari Bappeda Aceh mewakili Kepala Bappeda Aceh, dan Abdullah Abdul Muthaleb dari Flower Aceh.

Cut Vivi Elvida, S.T., M.T. selaku Subkoordinator Kependudukan dan Kesejahteraan Sosial Bappeda Aceh yang tampil di sesi pertama mengawali paparannya dengan menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan RPJM teknokratik. RPJM teknokratik merupakan dokumen perencanaan yang dibuat oleh pemerintah daerah sebelum terpilihnya kepala daerah definitif. Penyusunannya menggunakan metodologi dan kerangka ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah.

“Mengapa disebut RPJM teknokratik? karena belum masuk muatan politisnya, masih dilihat dan disusun berdasarkan sudut pandang akademik. Ini sifatnya masih draf sehingga masih terbuka masukan dari semua stakeholder baik pemerintah maupun nonpemerintah,” kata Cut Vivi.

Untuk memaksimalkan rancangan tersebut, Pemerintah Aceh melalui Bappeda Aceh melakukan FGD khususnya yang melibatkan mitra-mitra strategis Pemerintah Aceh, di antaranya, Sinergi dan Kolaborasi untuk Akses Layanan Dasar (SKALA) yang berkaitan dengan isu-isu kebijakan dan GEDSI; Unicef untuk isu-isu kesehatan; dan Flower Aceh.

Pada kesempatan itu, Cut Vivi memaparkan beberapa kondisi riil di Aceh yang selama ini sering menjadi sorotan publik. Misalnya, laju pertumbuhan ekonomi Aceh yang masih di bawah rata-rata nasional; kemiskinan kronis yang sulit diturunkan; pengangguran terbuka yang justru banyak terdapat di daerah perkotaan; angka prevalensi stunting yang masih lima “besar” nasional; dan cakupan imunisasi dasar lengkap yang juga masih rendah.

Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh cenderung naik dari tahun ke tahun. Data BPS menunjukkan, selama 2020—2023, IPM Aceh rata-rata meningkat sebesar 0,64 persen per tahun. Menurut Cut Vivi, naiknya IPM Aceh karena terdongkrak oleh IPM Banda Aceh yang mencapai angka 88,32 pada tahun 2023. Jauh melampaui angka nasional yang hanya 74,39 dan IPM Aceh 74,7.

Sementara untuk lima tahun berikutnya, sebagaimana yang tertuang dalam draf RPJM teknokratik, Aceh juga masih memiliki sejumlah “PR”, seperti 1) SDM yang masih rendah, 2) pertumbuhan ekonomi yang belum maksimal dan masih fluktuatif, 3) masih belum optimalnya tata kelola pemerintahan, 4) tingginya ketimpangan antarwilayah, 5) implementasi keistimewaan Aceh (pelaksanaan otonomi khusus, syariat Islam, korban konflik, dan perdamaian) yang belum optimal, dan 6) pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan serta ketahanan bencana yang masih rendah.

Untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, arah kebijakan pembangunan Aceh 2025—2029 menyasar lima fokus utama, yaitu: transformasi ekonomi; transformasi sosial; transformasi tata kelola pemerintahan termasuk pemerintahan desa; transformasi ketahanan sosial, syariat Islam, budaya, dan ekologi; dan transformasi fiskal.

Sementara itu, Abdullah Abdul Muthalib dalam pemaparannya di sesi kedua menjelaskan, merujuk pada UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pendekatan teknokratik hanyalah salah satu pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menyusun RPJM. Masih ada tiga pendekatan lainnya yang perlu dilakukan untuk mematangkan penyusunan perencanaan tersebut, yaitu pendekatan politik, partisipatif, atas-bawah, dan bawah-atas. Secara umum, perencanaan pembangunan mencakup empat tahapan, yang terdiri atas penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana.

Abdullah mengatakan, keberadaan berbagai dokumen perencanaan, mulai dari RPJP, RPJM, hingga rencana strategis ataupun rencana kerja instansi pemerintah adalah alat untuk mengukur komitmen pemerintah dalam melayani publik. Di sinilah menurutnya perlunya keterlibatan gerakan masyarakat sipil dalam memberi saran dan masukan agar dokumen yang disusun benar-benar berbasis pada kepentingan masyarakat.

RPJM teknokratik ini menurut Abdullah sangat penting karena dokumen inilah yang nantinya akan diserahkan kepada penyelenggara pilkada. Selanjutnya, penyelenggara pilkada akan menyosialisasikan dokumen tersebut kepada kontestan pilkada. Substansi dari dokumen inilah yang akan menjadi dasar bagi calon kepala daerah dalam menyusun visi misinya untuk diimplementasikan ketika terpilih dan menjabat nanti. Sebagaimana disampaikan Cut Vivi, visi misi kepala daerah terpilih nanti tidak akan meleset jauh dari RPJM yang disusun Bappeda karena isu-isu yang diangkat berangkat dari kondisi Aceh saat ini.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengatakan pertemuan tersebut merupakan wadah untuk menyelaraskan persepsi jaringan masyarakat sipil di Aceh mengenai dokumen perencanaan daerah Aceh. Juga penting untuk meningkatkan pemahaman CSO mengenai alur tahapan dan tata cara penyusunan dokumen perencanaan daerah. Secara khusus, menjadi wadah bagi CSO untuk memahami gambaran umum yang berkaitan dengan isu GEDSI dalam rancangan teknokratik RPJMA 2025—2029.

CSO sebagai perpanjangan suara masyarakat sipil, terutama kelompok rentan dan marginal berperan penting dalam proses perencanaan pembangunan daerah agar berjalan secara adil, inklusi, dan berkelanjutan yang dapat mengakomodasikan kebutuhan dan hak setiap lapisan masyarakat.

Para peserta sangat antusias mengikuti pertemuan ini. Hal ini dapat dilihat dari animo peserta yang mengajukan pertanyaan atau saran kepada perwakilan Bappeda Aceh. Beberapa isu yang menjadi bahan diskusi mencakup isu kemiskinan dan pengangguran, penanganan stunting, dan pemenuhan hak-hak kelompok marginal di Aceh.

Adapun isu strategis pembangunan Aceh tahun 2025—2029 meliputi 19 isu, yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan penanggulangan stunting; pemerataan pendidikan, perkuatan pendidikan vokasi dan meningkatkan minat baca masyarakat; penanggulangan kemiskinan; peningkatan pendapatan perkapita dan memaksimalkan dan menstabilkan perumbuhan ekonomi Aceh; optimalisasi riset dan inovasi serta digital; membuka lapangan kerja dan meningkat produktivitas masyarakat; memperkuat industri pengolahan dan ekspor; mengembangkan produktivitas pangan dan ekonomi hijau; memperkuat perkotaan dan pendesaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; tata keolala pemerintahan yang berintegritas;  memperkuat otonomi khusus; kemandirian dalam ruang fiskal; memperkuat syariat Islam dan budaya Aceh; penanganan PMKS disabilitas, memperkat gender, dan keluarga; lingkungan dan energi terbarukan; pengurangan risiko bencana; memperkuat pembangunan kewilayahan; dan emperkuat prasarana dan sarana infrastruktur.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *