Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa ORBA
Marilah kawan, mari kita kabarkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan, mari kita nyanyikan
Sebuah lagu, tentang PEMBEBASAN
Gema lirik lagu Buruh Tani memenuhi sisi jalan utama menuju Jembatan Ulee Lheue. Bendera dengan kombinasi warna semangka pun berkibar terhempas kencangnya angin pesisir pantai. Sekelompok orang muda berpakaian serba hitam dengan corak desain dan aksesoris khas tampak berkumpul mempertunjukkan kreativitasnya sembari menggalang dana untuk masyarakat Palestina pada 4-5 November 2023.
“Punk itu sebenarnya genre musik, jalan hidup, idiologi tentang kemanusiaan. Kita enggak suka lah lihat ada penindasan, kekerasan. Kita sangat menolak,”
jelas Pablo, salah seorang punker yang tergabung dalam komunitas Rencong Punk Collective.

Dia menilai punk sebagai jalan hidup yang digunakan untuk memberantas ketidakadilan. Pablo dan rakan-rekannya punya cara tersendiri untuk menegakkan keadilan dan mematahkan stigma negatif terkait punk dengan menggunakan karya-karya kreatif mereka, baik melalui lagu-lagu, kaos berdesain, dan kegiatan sosial.
Sejatinya, punk adalah bentuk ideologi yang kaya akan makna dan sejarah. Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda terhadap tatanan hidup berlandaskan keyakinan We Can Do It Ourselves.
Punk sendiri dibentuk untuk melawan sistem kapitalisme. Oleh karenanya, punk kerap digambarkan sebagai bentuk budaya yang menyimpang dari budaya dominan. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui ideologi mereka yang bercerita tentang alam, lingkungan, ekonomi, sosial, politik, bahkan agama.
“Adanya kegiatan PANKA (Pandangan Kabur) ini untuk menyambung suara-suara yang tertindas melalui karya kreatif. Sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap kaum tertentu tanpa mengetahui bagaimana mereka sebenarnya,” sebut Oja

Dia menuturkan bahwa PANKA terbentuk sebagai wujud keresahannya pribadi dikarenakan melihat ketimpangan, ketidakadilan, dan diskriminasi yang terjadi pada kaum minoritas yang salah satunya adalah kawan-kawan punk itu sendiri. Oja menyebutkan bahwa dengan adanya aksi positif dari PANKA ini diharapkan dapat menjadi jalan untuk menghapus stigma-stigma negatif yang tidak sesuai dengan realitas.
“Sebaiknya kita tidak menilai orang lain dari luarannya saja. Tapi nilai juga mereka dari perbuatan-perbuatannya,”
jelas inisiator PANKA.
Jika merujuk pada pernyataan seorang psikolog brilian asal Rusia, Pavel Semenov, punk dikategorikan sebagai gerakan dari dunia kesenian. Kekhasan kaum punk kadang kala tercermin daridandanan nyeleneh yang mengaburkan batas antara idialisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, dan meyakini bahwa hebohnya penampilan (appearances) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (ideas).
Salah satu contoh karya genius dari anggota Rencong Punk Collective berjudul Air Putih. Lagu yang ciptaan Fauzi FKJ ini menyindir santun paradigma pergeseran kebiasaan ‘ngopi’ yang biasanya menjadi wadah kearaban yang kini menjadi jalur bagi sebagian orang untuk pamer kemapanan, terutama di media sosial.
Minggu pagi, sampai sore hari
Kuciptakan lagu hanya dengan air putih
Memang kopi, gudang inspirasi
Tak ada kopi bukan berarti kau berhenti
Narasi umum terkait kopi sebagai gudang inspirasi yang seakan menjadi acuan mutlak produktivitas dibantah melalui kontra narasi kehadiran air putih. Sang seniman seakan ingin menyatakan bahwa air putih yang harganya lebih murah dibanding kopi, bahkan cenderung gratis, pun tetap dapat membuat orang-orang mampu menghasilkan karya kreatif.
Jika menelusuri karya musik kaum punk, mereka cenderung tidak menghadirkan musik rock teknik tinggi atau lagu cinta menyayat hati. Genre musik punk justru lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu punk menceritakan rasa frustasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran, serta represi aparat, pemerintah, dan figure penguasa terhadap rakyat.
Hal tersebut kerap menjadikan punk dicap sebagai musik rock and roll aliran kiri. Sehingga jarang mendapatkan kesempatan untuk tampil di media-media arus utama dan perusahaan rekaman pun menjadi enggan mengorbitkan mereka.
Tak Kenal, Maka Tak Sayang
“Mereka sering duduk-duduk dekat taman di luar kawasan Masjid Raya. Ada yang bertindik, macam-macamlah. Sayang sekali, padahal masih muda,” cerita Yusuf, seorang supir labi-labi yang usianya sudah lebih separuh abad.
Sebagai warga Aceh yang sudah puluhan tahun bekerja sebagai pramudi kendaraan umum di Banda Aceh, Yusuf meresahkan kehadiran sekelompok orang muda dengan tampilan yang dianggapnya nyentrik dan berkumpul bercampur baur di sudut-sudut pusat kota tanpa kegiatan positif. Dia menamai kelompok tersebut dengan sebutan punk.
“Banyak orang di Aceh saat melihat orang tampil berbeda di jalanan, langsung dicap punk, padahal bukan. Karena dia tidur di jalanan, dikatai punk, padahal enggak. Jangan salah kaprah,” jelas Pablo yang turut diamini oleh rekannya Onge.

Berdasarkan pengalaman mereka, stigma negatif yang serampangan dilekatkan masyarakat kepada kelompok punk menuai dampak buruk terhadap pergerakan positif mereka. Misalnya, mereka mengalami pembubaran dan penertiban saat melakukan aksi.
“Aksi kita dibubarkan karena tidak memiliki surat izin menggelar aksi penggalangan dana untuk Turki saat itu. Saat esoknya meminta izin ke Dinas Sosial, tetap tidak diberi, karena dianggap pungli (pungutan liar)”, jelas Onge.
Pada dasarnya, punker di Aceh juga melakukan gerak positif yang belum banyak disadari masyarakat, seperti mendistribusikan makanan gratis untuk warga sekitar, melakukan bakti sosial, menggelar penggalangan dana untuk korban bencana alam dan perang, serta melakukan aktivitas entrepreneurship dengan berdagang kaos, stiker, dan juga lagu.
“Berbagi. Hal paling membuat kami puas saat bisa berbagi untuk masyarakat,”
jelas Pablo dengan mata berbinar.
Rencong Punk Collective yang memiliki markas di kawasan Lueng Bata ini secara resmi telah membangun kerja sama untuk menyalurkan dana bantuan kepada lembaga-lembaga resmi kemanusiaan seperti ASAR Humanity dan ACT. Beberapa aksi penggalangan dana yang sukses dilaksanakan oleh kelompok punk di Banda Aceh ini di antaranya bantuan kemanusiaan terhadap kasus Genosida Palestina, Bencana Gunung Semeru dan Bajir Aceh Tamiang.
“Rencong Punk Collective berisi orang muda dari Medan, Kalimantan, Sumatera Barat, dan Banda Aceh. Ada yang beraktivitas sebagai musisi, seniman grafis, usaha sablon, dan mengamen,” papar Bayu.

Prinsip DIY (Do It Yourself) kelompok punk diwujudkan dengan merintis usaha dan distribusi terbatas demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal itu juga mejadi wujud nyata perlawanan terhadap korupsi dan bentuk protes terhadap bobroknya birokrasi pemerintah. Arti simbol yang melekat pada kaum punk melalui pakaian alakadar, nyeleneh, bahkan compang-camping menyiratkan arti anti-kemapanan dan anti-kapitalisme.
Hal tersebut seakan menyuarakan,
“Lebih baik mengenakan pakaian seadanya dari jerih payah sendiri dari pada menggunakan baju mewah hasil dari merampas hak orang lain”.
“Dukungan yang kami butuhkan adalah pendampingan pada kegiatan dan keseharian kami. Sebagian kawan-kawan kan ngamen, belum ada pekerjaan. Jadi tolong dipahami. Kami minta toleransi,” ungkap Pablo
Sejalan dengan itu, Oja, menambahkan kalau kehadiran PANKA tersebut juga bermaksud agar terbuka kesadaran masyarakat untuk memperlakukan kelompok punk sama seperti manusia lainnya. Dia menyarankan masyarakat untuk tidak menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja. Serta mengimbau masyarakat untuk turut memberikan hak kawan-kawan punk untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik.
“Ngamen itu bukan pilihan dan kemauan mereka. Keadaan yang memaksa mereka demikian. Perlakukan kawan-kawan punk ini seperti kita-kita. Beri mereka kesempatan mencari kerja, prioritaskan mereka juga,” harapnya.