Saya adalah satu dari dua perempuan yang hadir ke diskusi bertajuk Diaspora Hutan Wakaf yang dibuat Komunitas Kanot Bu pada Kamis petang, 17 Agustus 2017. Diskusi ini sangat menarik, sebab tema yang diangkat mengenai gerakan konservasi berjamaah yang dikemas dengan konsep Islam yaitu wakaf.
Selama ini setiap kali mendengar istilah konservasi, yang terbayang di benak kita adalah pekerjaan yang berat. Membutuhkan tak hanya tenaga tapi juga biaya yang tidak sedikit. Dan hanya bisa dilakukan oleh tangan-tangan kokoh milik lelaki.
Namun, Akmal Senja, sang inisiator Hutan Wakaf yang hadir untuk memantik diskusi sore itu, mampu menyederhanakan makna konservasi tersebut. Dengan gerakan berjamaah ini, konservasi yang notabenenya adalah upaya penyelamatan hutan, memungkinkan untuk dilakukan oleh siapa pun. Termasuk kaum perempuan seperti saya. Karena ketertarikan itu pula saya memutuskan untuk hadir ke diskusi tersebut bersama seorang rekan sesama perempuan.
Sama halnya dengan lelaki, perempuan juga memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam menjaga lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan merupakan subjek yang langsung merasakan dampak jika ada masalah dengan ketidakseimbangan lingkungan.
Katakanlah ketika musim kemarau panjang, sumber-sumber mata air menjadi kering. Saat pasokan air bersih ke rumah-rumah menjadi tersendat, perempuanlah yang lebih dulu panik. Karena untuk masak dan mencuci, mereka tentunya membutuhkan air bersih.
Secara kodrat, perempuan juga ditakdirkan menjadi ibu untuk melahirkan anak-anaknya kelak. Ia adalah madrasatul ula atau sekolah pertama bagi anak-anaknya sebelum mengecap pendidikan formal di institusi pendidikan. Inilah yang membuat perempuan harus memiliki pengetahuan dan kepedulian terhadap lingkungan yang memadai. Agar ia bisa mendidik dan mencetak generasi-generasi yang sayang lingkungan.
Dengan bekal pengetahuan mengenai lingkungan yang cukup, seorang ibu bisa ‘mendoktrin’ anaknya sejak dini. Sederhananya, ia akan mengajarkan anaknya agar tidak membuang sampah sembarangan, terutama di sumber-sumber mata air seperti kolam atau sungai, mengajarkan anak menanam dan mencintai pohon, hingga hemat dalam menggunakan air atau energi.
Bayangkan jika semua anak mendapatkan pendidikan tentang lingkungan yang cukup di keluarganya, mereka akan tumbuh menjadi ‘generasi hijau’ yang peduli pada lingkungan. Dan untuk itu mereka tidak harus menjadi aktivis lingkungan.
Perempuan sebagai ‘ratu’ rumah tangga, juga sangat memungkinkan untuk menggunakan produk-produk ramah lingkungan di rumahnya. Bahkan untuk memilih jenis detergen saja, seseorang harus memiliki pengetahuan yang cukup. Agar ia bisa membedakan mana detergen yang ramah lingkungan, mana yang sebaliknya.[]