Kaget, sedih, pilu, dan sesak rasanya membaca pemberitaan di media massa bahwa sisa-sisa bangunan rumoh geudong yang hanya tinggal secuil dirobohkan. Rumah yang menjadi saksi bisu masa kelam Aceh sebagai tempat penyiksaan, pembunuhan, pelecehan, pengancaman, dan teror masyarakat Aceh itu kini sudah rata dengan tanah dan nantinya akan berganti dengan masjid yang megah.
Sebagai warga Aceh, saya memang belum pernah melihat langsung lokasi rumah tersebut. Namun, keberadaan rumah tersebut sudah terdengar ke mana-mana sampai ke seluruh Aceh. Bagi warga Pidie dan sekitarnya, pasti tahu bagaimana kronologisnya rumah ini karena letaknya berada di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Gelumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Hingga kini tahun 2023, memori rumoh geudong masih melekat di ingatan mereka.
Namun, bagi saya yang tinggal di daerah Aceh Selatan, belum pernah melihat bagaimana bentuk fisik rumah tersebut karena memang yang tersisa setelah dibakar pada tahun 1998 hanyalah tangga permanen di beranda depan rumah, sedikit dinding, dan sumur.
Namun, saya tahu kalau rumah itu sebagai tempat penyiksaan oleh aparat negara terhadap masyarakat Aceh selama masa konflik Aceh pada periode 1989-1998. Rasa ngeri muncul seketika membaca kasus-kasus yang pernah terjadi di rumah tersebut. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana jika penyiksaan itu terjadi pada saya atau keluarga. Sungguh memilukan dan saya tidak ingin sejarah kelam itu berulang.
Sebagai generasi yang pernah merasakan konflik Aceh, walaupun di tahun-tahun akhir konflik, saya mempunyai ingatan emosional bagaimana pedihnya hidup di masa konflik. Membaca berita tentang kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh membuat jantung saya berdegup kencang. Ingatan suara dentuman AK-47, serta ledakan bom dan granat menjadi memori yang tidak bisa terlupakan. Pemandangan iringan mobil tentara dan tank di jalan raya, masyarakat yang dipukuli di depan umum, dan ekspresi para tentara saat melewati perkampungan masih tergambar jelas di ingatan.
Satu-satu yang saya harapkan ialah jangan pernah ada konflik bersenjata lagi di Aceh untuk sekarang maupun di masa depan.
Belajar dari Sejarah
Dulu, ketika saya belajar mata pelajaran Sejarah di sekolah, di awal bab dijelaskan apa tujuan mempelajari sejarah. Di antaranya untuk mengetahui peristiwa kejadian di masa lampau sehingga kita bisa belajar dari peristiwa buruk agar tidak terulang lagi.
Di bab-bab berikutnya dijelaskanlah peristiwa sejarah mulai dari asal usul manusia dari manusia purba, hewan-hewan purba yang hidup di masa prasejarah dan sebelumnya seperti dinosaurus dan sebagainya. Akhirnya muncullah beberapa replika manusia purba dan hewan purba yang bisa kita lihat langsung bentuknya. Bahkan dinosaurus yang sudah jutaan tahun punah menjadi begitu familier di ingatan anak-anak karena banyak dibuat dalam bentuk gambar, boneka, miniatur, film, dan sebagainya.
Sedangkan untuk peristiwa sejarah, seperti perang sebelum kemerdekaan dan penjajahan oleh kolonial hanya dijelaskan dalam bentuk gambar dan bacaan yang membosankan. Terkadang saya jenuh mempelajarinya karena pada masa perang melawan Portugis, Belanda, dan Jepang terlalu jauh jaraknya dengan generasi seperti saya. Terlebih saya tidak melihat langsung bukti fisik sejarah tersebut, bahkan saya pernah mengira cerita itu hanya mengada-ngada, hingga akhirnya ketika saya kuliah ke Banda Aceh saya pun berkunjung ke Museum Aceh.
Ketika saya masuk ke dalam Museum Aceh, semangat perjuangan merasuk ke jiwa ketika melihat jajaran foto, replika, maupun cerita yang mengajarkan sejarah tersebut. Saya lebih mudah mengerti bagaimana peristiwa Aceh dengan berkunjung sehari saja ke Museum Aceh daripada bertahun-tahun belajar sejarah di sekolah. Suasananya terasa berbeda karena saya bisa melihat, mendengar, dan menyentuh bagian-bagian dari sejarah tersebut. Lantas apa hubungannya dengan rumoh geudong?
Rumoh Geudong Bukti Sejarah
Sungguh sangat disayangkan jika sisa-sisa rumoh geudong sebagai bukti sejarah masa-masa kelamnya Aceh dihilangkan. Apalagi tidak ada sedikit pun sisa dari bangunan tersebut. Bagaimana kita bisa menjelaskan kepada generasi mendatang tentang peristiwa yang pernah terjadi di rumah tersebut. Padahal kalau kita menilik kembali pelajaran sejarah, harusnya bukti sejarah tidak boleh dihilangkan justru harus dirawat.
Saya ingin berandai-andai, ketika 20 atau 50 tahun mendatang saya bercerita tentang rumoh geudong kepada anak cucu saya, mereka hanya menanggapi sepintas lalu. Mereka mungkin akan bosan dan malah mengira saya mengada-ngada, persis seperti saya dulu ketika belajar sejarah di sekolah. Berbeda ketika saya berkunjung langsung ke museum atau melihat bukti sejarah yang bisa dilihat, didengar, dan disentuh. Walaupun saya tidak berada di masa itu, tetapi saya dapat merasakan suasana dari sejarah tersebut dan tentunya lebih melekat dalam ingatan.
Mungkin, mengapa kehidupan di Aceh sejak dulu tidak berkesudahan dengan yang namanya konflik kepemilikan, bisa jadi karena pemerintah dari generasinya tidak bisa merawat sejarah kepemilikan itu sendiri, sehingga akan memunculkan peristiwa konflik baru yang tujuannya sama, tetapi dengan pola-pola berbeda. Maka ujung-ujungnya pembodohan massal terjadi yang dibuat oleh orang-orang yang punya kepentingan, haus kekuasaan, dan rakus pengakuan.
Yang saya takutkan lagi, ketika generasi Aceh tidak pernah tahu dengan sejarah kelam bangsanya, maka besar kemungkinan sejarah itu akan terulang. Padahal bila sejarah kelam itu dirawat dengan baik dengan penuh pembelajaran, generasi Aceh ke depan bisa berpikir ulang bila dihadapkan dengan persoalan. Sebab nyawa manusia jauh lebih berharga daripada kuasa, tahta, dan harta.[]
Yelli Sustarina, anggota Perempuan Peduli Leuser, aktif di Forum Aceh Menulis (FAMe). Email yellsaints.paris@gmail.com
Editor: Ihan Nurdin