Khalida Zia menguak kembali memori silamnya saat ditanyakan sejarahnya terpilih untuk pertama kali sebagai Direktur Eksekutif The Leader, sebuah organisasi kepemudaan berbasis di Banda Aceh, Indonesia. Laksana plot twists cerita jenaka di layar kaca, Zia berkisah tentang keunikan prosesi pemilihannya sebagai perempuan pemimpin empat tahun silam.
“Aku sempat kaget. Sebab awalnya aku datang kan bukan sebagai calon. Tiba-tiba diajukan tim untuk masuk daftar kandidat dan menang voting,” tutur Zia kocak dibarengi tawa khasnya.
Sarjana Sosiologi Universitas Syiah Kuala ini merasa bahwa sudah sejak lama dia memiliki kepekaan terhadap orang-orang di lingkungan sosialnya, tetapi saat itu dia belum merasa perlu untuk mengambil peran. Namun, semenjak bergabung di The Leader, Zia berkesempatan untuk bertemu dengan beragam jenis manusia yang unik. Dia menghabiskan waktu duduk dan mendengarkan obrolan baru yang tidak sepenuhnya dia mengerti, tetapi berusaha dia pahami. Keluar dari zona nyaman anak rumahan untuk lebih sering ‘ngopi’ membahas beragam topik yang mengasah kepekaan hati.
Hingga akhirnya, perempuan Aceh kelahiran Pante Gajah, Bireuen, ini mengambil langkah konkret untuk secara langsung bertukar sapa terkait kondisi dan persepsi setiap anggota The Leader. Perlahan tapi pasti, Zia melakukan janji temu untuk ngobrol dari hati ke hati dengan para anggota tim.
“Aku cuma tanya,
‘Apa yang kamu rasakan sekarang terhadap organisasi kita?’
Dari situ obrolannya menjadi panjang dan mendalam,” papar Zia dalam usahanya memahami situasi dan dinamika The Leader di awal kepemimpinannya.
Dia menilai pertemuan secara personal memberikan setiap orang kesempatan untuk menjadi asli dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka dibanding pertemuan secara berkelompok.
Ratu menimpali bahwa setiap direktur The Leader punya kekuatan dan keunikan masing-masing, termasuk di masa kepemimpinan Khalida Zia. Menurutnya, leadership ala Zia terbukti berhasil merekatkan dan mengajak berbagai individu di The Leader untuk saling bekerja sama dan merasa nyaman satu sama lain. Pencapaian tersebut, menurutnya, patut diapresiasi.
Komentar serupa juga datang dari Rima, anggota The Leader Generasi 3. Dia menilai Zia memiliki kemampuan untuk merangkul setiap anggota dengan pendekatan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan pribadi anggota masing-masing. Rima merasa kehadiran Zia sebagai pemimpin berhasil menghadirkan kembali perasaan nyaman yang dulu sempat pudar.
“Salah satu hal yang paling saya kagumi dari kepemimpinan Zia adalah rasa percaya yang dia tanamkan kepada timnya dalam menjalankan tugas-tugas. Dia percaya pada setiap kemampuan individu dengan tetap memberikan arahan dan pengawasan yang dirasa perlu,” ungkap Rima.
Pemilihan Khaliza Zia sebagai Direktur Eksekutif The Leader pada tahun 2020 yang terkesan insidental itu pada dasarnya punya akar penyebab yang cukup kuat. Keinginannya untuk memahami keunikan dan potensi setiap individu di dalam organisasi dengan cara mendatangi dan berbincang dari hati ke hati tanpa disadari telah membangun ikatan kepercayaan (trust) setiap anggota terhadap Zia.
“Aku adalah orang yang senang belajar dengan tekun. Ketika diberi kesempatan melakukan hal baik, aku akan dengan senang hati mencobanya,” jelas Zia atas tanya mengapa tak menolak kesempatan kepemimpinan yang cukup mendadak tersebut.
Perempuan yang kerap terlibat sebagai peneliti lapangan bidang ilmu sosial dan budaya ini mengaku kesempatan berharga tersebut digunakannya untuk belajar lebih banyak hal tentang leadership; dari memahami masalah organisasi, merancang alur kepemimpinan, mengumpulkan tawaran solusi, bahkan membentuk tim untuk berbagi peran.
Menurutnya, kebanyakan orang cenderung bekerja hanya dengan orang-orang yang membuat mereka merasa nyaman. Namun, Zia melakukan hal sebaliknya. Dia cenderung lebih suka membuat orang-orang tersebut merasa nyaman bekerja sama dengannya walau pun di awal mungkin tidak terlalu cocok.
“Ketika aku merasa dia bisa tetapi orang-orang tidak percaya, aku semakin tertantang untuk membuktikan. Saat tim terbentuk, semua belajar kembali dari nol.”
Zia mengaku bahwa di awal-awal kepemimpinannya, dia tidak berusaha membawa The Leader ke arah tertentu. Dia lebih memilih mengambil waktu untuk memahami alur dan siklus kepemimpinan berdasarkan keinginan para anggotanya. Ambisi pribadinya sebagai pemimpin dikesampingkan. Zia justru berfokus untuk menghadirkan kondisi senyaman mungkin untuk para anggota tim bertumbuh.
Zia menjelaskan tentang ketidakpunyaannya akan peta leadership yang sangat rapi kala itu. Dia lebih memilih menggunakan perasaannya untuk meyakinkan orang-orang bahwa apapun yang mereka lakukan merupakan kepemilikan bersama. Dia memilih untuk lebih banyak diam dan mendengarkan keinginan anggota timnya. Memastikan agar setiap anggota menyadari bahwa mereka setara.
Bak gayung bersambut, tampaknya niatan sang penerima penghargaan Best Impactful Creation pada Peace Innovation Academy 2022 ini pun diamini oleh para anggota tim The Leader. Beragam komentar positif terkait kepemimpinan Zia yang dinilai berhasil menghadirkan ruang aman dan nyaman bagi anggotanya pun bermunculan. Salah satunya dari sang bendahara, Zikrullah alias Mr. Zik.
Sang Treasurer The Leader yang saat tulisan ini diterbitkan sedang menempuh pendidikannya di Amerika Serikat menilai kepemimpinan Zia mampu menghadirkan rasa aman dan ketentraman. Di bawah arahan Zia, Zik merasa menjalankan tugas tanpa paksaan dan tetap penuh semangat.
Pengalaman serupa ternyata juga dirasakan oleh sang ahli desain digital yang merupakan anggota The Leader Generasi 4, Shaddiq. Dia secara terbuka mengakui bahwa pada awal bergabung di organisasi tersebut sempat mengalami kerenggangan (gap) pemahaman yang cukup besar—dari gaya berkomunikasi, topik pembicaraan, hingga candaan di antara para anggota—yang menurutnya membingungkan. Shaddiq sendiri mengalami momentum di mana dia merasa tidak nyambung dan kesulitan beradaptasi saat awal-awal bergabung di The Leader.
“Butuh waktu nyaris 2 tahun untuk aku beradaptasi. Sebelumnya, aku merasa tak ada yang benar-benar mau tahu tentang aku. Aku bahkan sempat merasa kehadiranku hanya dibutuhkan sebagai tools. Namun hal itu berubah ketika hadir sesosok kakak gila yang bernama Zia,” ungkap Shaddiq. “Dia satu-satunya orang yang saat itu mencoba mencari tahu tentangku, mengapa aku di sini dan untuk apa aku di sini.”
Shaddiq cerita bahwa Zia adalah sosok pertama yang membuat kehadiran dirinya terasa berharga di organisasi kepemudaan tersebut. Sebagai pemimpin, Zia dianggap berhasil merangkul dan membentuk kepercayaandirinya juga kebanggaannya sebagai bagian dari The Leader.
Jalan perempuan bukanlah jalan tol, demikian narasi yang kerap diutarakan oleh para aktivis perempuan di Aceh. Zia, selaku bagian dari Aktivis Perempuan Aceh, tentu paham betul berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi seorang perempuan pemimpin dari provinsi terbarat Indonesia.
Selaku Direktur Eksekutif The Leader periode 2020-2024, Zia tentu menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan faktor pencapaian dan juga risiko. Keluasan hatinya sebagai pemimpin yang seutuhnya percaya akan kemampuan para anggotanya dalam berbuat tentu juga disertai risiko yang kelak akan dia tanggung. Namun menariknya, selaku perempuan pemimpin, Zia justru menjalankan tampuk kepemimpinan dengan realistis. Dia mampu menghadirkan keseimbangan perasaan dan logika secara bersamaan. Sehingga gaya kepemimpinan Zia jauh dari kesan baper (bawa perasaan) dan micromanage (pengawasan dan pengarahan yang berlebihan).
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kepemimpinan perempuan ala Khalida Zia tidak hanya menghadirkan kesempatan setara bagi seluruh anggota untuk berkembang dengan sukses, tetapi juga rasa aman bagi mereka untuk menikmati kegagalan dan belajar. Hal tersebut merupakan pendekatan kepemimpinan yang realistis sekaligus empati.
Mardha mengaku belajar banyak hal terkait empati selama kepemimpinan Zia. Menurut Mardha, empati dari seorang Zia dapat dilihat dengan jelas melalui obrolan santai bersamanya, caranya memperlakukan orang-orang di sekitarnya secara konsisten, hingga postingan-postingan di media sosialnya yang selalu menghadirkan sudut pandang unik yang dapat diambil sebagai pembelajaran.
Komentar serupa juga diutarakan Kekem, anggota The Leader Generasi 4. Menurutnya, Zia adalah sosok pemimpin dan juga teman yang mampu menyeimbangkan antara logika dan perasaannya. Sehingga, empati yang dihadirkan mampu menvalidasi emosi dan juga masuk akal.
Saat Kekem sakit parah tempo hari, satu-satunya orang yang terlintas di pikirannya untuk bercerita adalah Zia. Menurut Kekem, Zia adalah tipe orang yang tahu kapan harus pakai logika dan kapan harus pakai perasaan. Tentu penting baginya agar perasaan sedih dan terlukanya divalidasi. Akan tetapi dia juga perlu dikuatkan dengan nasihat-nasihat masuk akal. Kedua hal itu diperolehnya dari sosok Zia.
Dalam merekam jejak berserak kepemimpinan perempuan seorang Khalida Zia di The Leader selama nyaris 50 bulan ke belakang, tentu selalu ada hal yang perlu dikritisi untuk perbaikan ke depan maupun hal yang wajib diselebrasi sebagai kenangan baik yang dapat dijadikan acuan di masa yang akan datang. Untuk itu, beragam pendapat dari anggota tim pun dihimpun.
Sang ahli bidang Project Management The Leader memberikan pernyataan yang awalnya terkesan ambigu. Namun kemudian Ratu memberikan pemaparan lanjutan. Menurutnya, jika ditarik sejarah ke 12 tahun silam sejak The Leader didirikan (27/12/2012), benar bahwa terjadi penurunan kepopuleran organisasi ini di kalangan orang muda.
Namun menurutnya, kehadiran The Leader sebagai ‘pemain tunggal’ Organisasi Kepemudaan Non-Government (NGO) sejak saat itu justru telah terbukti menginspirasi banyak pihak untuk menghadirkan organisasi kepemudaan serupa (bahkan yang disponsori raksasa keuangan) yang lahir dan berkembang di Provinsi Aceh sekarang ini.
“Aku melihat secara branding pamornya tidak seperti dulu. Tapi secara internal, Ratu menganggap kita itu upgrade. Karena dulu, Ratu juga sempat ngerasain apa yang Shaddiq rasain. Cuma Me being Me adalah kunci.” Papar Ratu yang menyatakan sadar akan dinamika yang terjadi tetapi tidak merasa harus menjelaskan hal tersebut secara blak-blakan ke semua orang.
Terkait kondisi internal tim The Leader yang mengalami peningkatan, Ratu menilai Zia berhasil meleburkan suasana yang setara di antara anggota tim. Sehingga celah kekikukan antargenerasi menjadi kecil. Jadinya antara satu anggota dengan anggota lainnya dapat berkomunikasi dan berkolaborasi dengan nyaman.
Kemudian, saran lainnya muncul dari Mardha. Dia menilai ada sistem organisasi yang seharusnya dibenahi, bahkan jauh sebelum kepemimpinan Zia. Namun, menurutnya, hal itu belum dihadirkan hingga kini.
Mardha menilai ada kalanya Standar Operational Program (SOP) menjadi penting untuk dimiliki sebuah organisasi. Tujuannya agar keberhasilan ataupun kegagalan sebuah program yang dijalankan terukur secara ideal. Tanpa SOP, menurutnya, akan muncul multitafsir standar kesuksesan program. Mungkin sebagian tim merasa sudah memberikan yang terbaik, akan tetapi sebagian tim lainnya merasa program belum sesuai ekspektasi.
Menanggapi saran terkait standar, Zia yang merupakan anggota The Leader Generasi 2, mengakui bahwa pernah mendengarkan istilah tersebut. Namun sayangnya, secara pribadi dia tidak memahami makna maupun acuannya. Bagi Zia, selama kepemimpinannya, dia memiliki definisi tersendiri terhadap program yang dianggapnya sukses dan sesuai standar.
Zia mengaku merasa senang ketika The Leader mudah dijangkau banyak pihak dan tidak harus tampil ekslusif. Sehingga dia dan timnya mencoba melakukan berbagai pendekatan untuk menjalin hubungan akrab dengan masyarakat akar rumput, lintas komunitas dan organisasi, bahkan pemerintah setempat.
“Makanya muncul program-program yang sengaja diadakan di daerah-daerah seperti Program DreamMaker di Pulau Aceh, Pulau Simeule, dan Aceh Timur. Pelatihan Panglima Laot di Simeulue. Pelatihan Aparatur Gampong di Sabang. Juga Pelatihan Pegawai di BPS Bireuen,” papar Zia.
Selain program bersifat kedaerahan, Zia menambahkan, terdapat pula program-program keren berstandar nasional dan bergaya urban lainnya yang berhasil digelar oleh tim The Leader di masa kepemimpinannya. Seperti Program Aku Berani Cerita (ABC), Aceh Art Peace Camp 1 dan 2, Tahun Toleransi dan Program Toleransi di Sekolah bareng Ayu Kartika Dewi, Dear Young Leader bersama Narasi TV dan AWE(Academy for Women Entrepreneurs).
Di samping itu, selama kepemimpinannya sebagai Direktur Eksekutif The Leader, Zia cukup banyak menghadiri undangan dari pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) setempat. Zia secara konsisten turut menghadirkan Juru Bahasa Isyarat (JBI) dalam program-program The Leader agar lebih inklusif dan terjangkau oleh banyak pihak. Bahkan, The Leader sudah menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) bersama DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Aceh terkait dukungan penyediaan ruang aman dan pencegahan kekerasan seksual dalam lingkungan organisasi.
Menariknya, dalam keterwujudan program-program sebuah organisasi, efek echo-chamber semacam self claim (klaim sepihak) atau overclaim (klaim berlebihan) terhadap sebuah keberhasilan tentu perlu dihindari. Echo Chamber atau Efek Ruang Gema dapat dimaknai sebagai sikap seseorang yang hanya menemukan informasi atau pendapat yang sesuai dengan perspektif dirinya sendiri tanpa mencari tahu sisi informasi lain di luar lingkungannya.
Untuk mencegah kondisi echo-chamber tersebut, maka penting untuk menghadirkan keragaman sudut pandang dari lintas generasi. Semisal perspektif dari Kenara, anggota The Leader Generasi 2, terkait sepak terjang kepemimpinan Khalida Zia.
Menurutnya, butuh waktu bagi Zia untuk beradaptasi dan memahami keberagaman anggota tim yang berada di The Leader. Namun, seiring waktu berjalan, dia melihat bahwa Zia terbukti mampu memimpin The Leader dengan menampilkan keunikan warnanya tersendiri.
“Aku kerap memantau perkembangan The Leader dari media sosial dan grup WhatsApp. Dari Zia, aku jadi memahami tagline, “Everyone Can Be A Leader” dengan cara tersendiri. Zia berhasil menunjukan bagaimana dia memimpin dan mengkoneksikan personal interest anggotanya dengan visi misi organisasi ini,” kata Kenara.
Apresiasi atas kinerja Zia dan timnya tidak hanya datang dari lingkar anggota The Leader saja. Baru-baru ini, seorang teman Seniman Aceh mengutarakan rasa sukanya atas program-program The Leader yang dirasa mampu menjangkau pihak-pihak yang semakin beragam.
Layaknya peribahasa, “Ada Ubi, Ada Talas. Ada Budi, Ada Balas.” Rima pun ikut menitipkan sebuah pesan mendalam. Baginya, kehadiran Zia sebagai Direktur Eksekutif The Leader telah menghadirkan pengalaman yang luar biasa.
Empat tahun terasa sangat singkat. Saya berharap dapat terus bekerja dan belajar bersama, sekaligus melihat Zia melanjutkan perannya sebagai Direktur. Generasi baru juga masih membutuhkan sosok seperti Zia sebagai pemimpin yang mampu merangkul timnya dan memahami keberagaman yang ada.
Dia menilai The Leader telah berhasil menghadirkan ruang aman dan nyaman untuk banyak orang bertumbuh, termasuk para anggotanya. Tentu di balik pasang-surut kepemimpinan Zia, ada kritik dan apresiasi yang datang silih berganti. Akan tetapi, tentu kita yakin bahwa seperti Para Direktur The Leader sebelumnya, Khalida Zia telah memberikan yang terbaik selama masa jabatannya memimpin.