Setelah menamatkan dua buku Seri Pangan Nusantara yang ditulis oleh Ahmad Arif, yakni Sorgum Benih Leluhur untuk Masa Depan dan Sagu Papua untuk Dunia, saya jadi bernostalgia ke masa lalu. Pada masa-masa di tahun ‘90-an saat saya berusia sekolah dasar dan orang tua saya yang berprofesi sebagai petani tinggal di sebuah perkampungan di Aceh Timur.
Seperti yang pernah saya kisahkan pada tulisan-tulisan terdahulu, kampung masa kecil saya itu konturnya berbukit-bukit. Masyarakatnya bertahan hidup dari bertani dan berkebun. Aneka palawija, seperti cabai, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, hingga sayur-sayuran menjadi tumpuan hidup warga di fase-fase awal. Pada fase berikutnya mereka mulai berkebun, utamanya menanam kakao (cokelat) dan kelapa. Pada fase berikutnya, perkampungan ini justru “lenyap” akibat terjadinya konflik sosial. Pada masa-masa sebelum konflik terjadi, tinggal di perkampungan itu sangat membahagiakan. Kebutuhan akan pangan, sebagaimana yang menjadi konteks dari tulisan ini nantinya, sangat mudah didapat.
Pada masa-masa itu, di awal-awal tahun ‘90-an, selain untuk bersekolah, nyaris seluruh waktu saya habis di ladang atau di kebun. Ibu sering mengajak saya dan adik pergi ke ladang. Kalau hari Minggu, bisa dipastikan seharian kami bakal berada di ladang. Belakangan, setelah ayah fokus menggalas, ia jadi jarang ke ladang.
Meski hidup dan tumbuh dalam kondisi yang serbaterbatas, tetapi jiwa kanak-kanak saya sangat bahagia. Terbatas yang saya maksud di sini adalah prasarana dan sarana pembangunan. Misalnya, pada masa itu jalan utama di kampung kami belum beraspal, bahkan sampai sekarang pun belum. Listrik baru masuk sekitar tahun ‘97, saat saya sudah hijrah ke kota untuk melanjutkan pendidikan SLTP. Air bersih juga sangat susah karena terbatasnya sumber-sumber mata air. Parit-parit atau sumur baru melimpah air ketika musim hujan tiba. Kami terbiasa mandi dengan air yang sangat terbatas, yang kami ciduk sedikit demi sedikit di ceruk-ceruk parit atau sumur. Di musim kemarau, di dasar sumur yang airnya sedikit itu, terkadang tampak hitam oleh kecebong. Saat cidukan air kami siram ke badan, tak jarang kecebong-kecebong itu ikut mendarat. Namun, hal-hal semacam itu tak sekali pun menjadi keluhan kami.
Lingkungan tempat kami tinggal sangat kondusif. Dengan teman-teman sebaya semuanya sangat kompak. Kami, anak-anak di dusun itu, terbiasa mencari kayu bakar bersama di kebun-kebun kelapa; main rumah-rumahan; atau menggembala ternak. Kami pergi dan pulang sekolah bersama-sama, juga sering mengerjakan tugas sekolah bersama; malamnya mengaji dan hampir selalu diwarnai dengan bermain petak umpet. Belum semua rumah mempunyai televisi sehingga aktivitas bermain bersama lebih disukai anak-anak, alih-alih mengurung diri di rumah. Rumah warga yang punya televisi itu pada malam harinya sering ramai. Para tetangga yang tak punya barang “mewah” itu di rumahnya, ke sanalah mereka menikmati hiburan di malam hari.
Saya dan anak-anak lainnya di kampung sangat akrab dengan ladang. Berada di ladang sangat menyenangkan. Satu kebanggaan tersendiri bagi saya kalau punya baju “kerja”, yakni baju yang hanya dipakai khusus untuk ke ladang. Jadi, kalaupun kotor tak masalah. Justru kalau semakin kotor bisa menjadi indikator tingkat kerajinan. Jika saya ingat-ingat lagi sekarang, ladang-ladang dan kebun milik orang tua kami dulu adalah laboratorium besar yang sangat luar biasa. Di ladang itu kami bisa bermain tanah tanpa perlu takut kotor.
Lebih dari itu, kami bisa mengenali aneka jenis tanah: mana tanah yang subur, mana tanah yang tandus; mana tanah liat, mana tanah humus. Saat berada di ladang atau kebun, otot-otot kami terlatih untuk menjadi lebih kuat. Fungsi motorik kami berkembang dengan alami. Kami terbiasa berjalan di atas permukaan tanah yang licin selepas hujan. Biasa juga berjalan menanjak di kebun-kebun kakao dengan beban berat di kepala karena menyunggi hasil panen. Bergelantungan di pohon atau main perosotan dari ketinggian bukit benar-benar menguji nyali.
Begitu juga fungsi sensorik. Pancaindra kami terbiasa mengolah atau menerima informasi yang bersumber dari alam. Misalnya, ketika sedang bermain di hutan, kami bisa mendeteksi apakah ada ancaman atau tidak “hanya” dari mendengar suara anjing menggonggong di kejauhan. Kalau suaranya intens, itu berarti sedang ada warga yang memburu babi. Babi rusak adalah ancaman kalau kita berada di hutan.
Dengan ikut bekerja membantu orang tua di ladang, seperti membersihkan gulma pada tanaman atau saat memanen cabai dan kakao, kami bisa belajar mengenai morfologi tumbuhan. Bagaimana bentuk bunga tanaman, kapan putik bunga berubah menjadi bakal buah, hingga kapan waktunya panen. Bahkan kami bisa menakar beratnya dari wadah yang digunakan. Pelajaran matematika bisa dipelajari secara alami dan (sebenarnya) sangat mudah dan menyenangkan. Dari satu ember biji kakao basah yang dipanen sudah bisa dikira-kira berapa uang yang dihasilkan nanti. Bonus berladang adalah bisa melihat aneka binatang, seperti ragam jenis semut, burung, tupai, monyet, dan babi hutan. Saya juga pernah melihat trenggiling melintas.
Pernah tinggal di desa adalah salah satu hal yang sangat saya syukuri dan saya rindukan saat ini. Terutama tentang adanya pemahaman bahwa alam sangat pemurah kepada manusia. Alam menyediakan banyak kebutuhan manusia, terutama soal kebutuhan pangan. Menurut hemat saya, sekalipun hidup tak bergelimang harta, tetapi jika kebutuhan pangan tercukupi, maka kita tak perlu merasakan kesengsaraan. Di kampung kami, sumber pangan, khususnya sayur-sayuran sangat melimpah.
Saya akan mencoba mengingat-ingat kembali sayuran apa saja yang dengan mudahnya kami peroleh pada saat itu. Kangkung dan pakis adalah dua sejoli yang sangat mudah didapat. Dua jenis sayuran ini sama-sama membutuhkan tempat yang lembab (basah) untuk bertumbuh. Pakis banyak tumbuh di pinggir pinggir parit atau di kebun-kebun kelapa/cokelat yang teduh. Kangkung banyak tumbuh di parit-parit tak bertuan yang dapat kami petik dengan gratis.
Pernah suatu kali kami beramai-ramai pergi memetik kangkung di parit besar. Masing-masing kami membawa pulang kangkung air satu kantong plastik besar. Kangkung air beda dengan kangkung tajuk/tanam. Kangkung air memiliki daun dan batangnya besar-besar. Tekstur batangnya lebih renyah. Saat dipetik atau dipitili muncul suara ‘tup-tup’ karena efek suara angin yang terkurung di dalam rongga batang. Ketika ditumis atau dilemak sangat enak.
Di antara bedeng-bedeng cabai, mudah sekali menemukan sintrong atau daun meranti. Ini sebenarnya jenis gulma, tetapi enak dijadikan sayuran. Sintrong memiliki aroma yang tajam, tetapi ketika diurap atau ditumis dengan campuran sayuran lain, aroma menyengat daun sintrong justru menjadi penggugah selera. Bayam rusa yang daunnya lebar-lebar juga tumbuh dengan sendirinya. Begitu juga dengan bayam ek itek atau bayam liar yang juga masuk dalam kategori gulma, tetapi bisa disayur. Ada juga sawi hutan yang warnanya hijau pekat dan bunganya kuning. Tomat bunga tumbuh dengan buah yang sangat lebat. Saat berada di kebun, kami sering merambat sayuran hutan seperti sawi hutan, meranti, sintrong, bayam, dan pucuk gambutan (rambot bue) alias markisa hutan untuk disayur campur. Nantinya dimakan dengan lalapan terasi atau sambal kelapa. Dengan lauk ikan asin, duh, nikmatnya.
Kalau daun ubi jangan ditanya. Terkadang tumbuh sendiri di semak-semak. Daun ubi karet pun bisa dimakan karena pucuknya muda-muda. Begitu juga dengan pucuk labu tanah yang sering tumbuh di belakang rumah atau di dekat dekat kandang lembu atau di semak-semak kebun kelapa. Pisang monyet mudah sekali didapat, tumbuh di dekat-dekat parit. Batang dalamnya enak sekali disayur. Buahnya yang seukuran jari-jari tangan, meskipun penuh dengan biji, tetapi memiliki rasa asam-asam buah yang segar.
Kalau perlu jantung pisang tinggal petik saja. Begitu juga kalau kepingin memasak gulai pisang muda, tak perlu kelimpungan mencarinya. Di semak-semak, pohon rimbang tumbuh sebagaimana pohon hutan lainnya. Siapa saja bebas memetik. Di semak-semak itu pula tumbuh petai cina yang bijinya enak dibuat oblok-oblok atau botok, jenis lauk yang dibuat dari olahan biji petai dengan campuran kelapa parut.
Pohon terong, gambas, labu, kecipir, atau kacang panjang yang ditanam di ladang buahnya melimpah saking suburnya tanah. Ada juga daun kelor yang meskipun bukan konsumsi utama, tetapi ada di sekitar rumah. Buah-buahan hutan, seperti seri, cimpluan, dan markisah hutan menjadi favorit untuk diburu.
Bunga atau bonggol pepaya bukanlah sayur mahal seperti sekarang. Buah pepaya mengkal pun bisa ditumis atau dijadikan campuran kuah pliek. Bisa juga dimasak kuah lada yang segar. Ketika pohon nangka yang ada di kebun coklat berbuah, juga bisa dimasak untuk melengkapi variasi hidangan di dapur. Semua itu tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk membelinya. Sayur-sayur yang dibeli hanyalah sayur-sayuran yang tak tumbuh di tempat kami, seperti kol, wortel, atau kentang dan sangat jarang dibeli.
Kebutuhan dapur yang perlu dibeli hanya perbawangan, minyak, gula-garam, beras, atau rempah-rempah. Kalau ikan, karena kampung kami yang jauh dari pesisir, lebih sering mengandalkan ikan-ikan kering, seperti teri, kepah, sarden, telur, atau ikan asin. Saya hampir tak pernah mendengar ibu mengeluh karena tak tahu hendak menyayur apa.
Membayangkan kembali secuil masa lalu tersebut saja rasanya sudah bikin saya kenyang. Namun, saat melihat bahwa kampung itu sekarang sudah bersalin rupa menjadi areal perkebunan sawit, alam yang murah itu pun menjadi “mahal”. []