Kategori
Hak Asasi Manusia Kisah Perempuan Literasi Damai

Ayah Menggali Lubang untuk Tempat Kami Bersembunyi

Saat balita, adik saya pernah melihat orang berbaju hitam menodongkan senjata pada mamak. Saat bisa bicara, adik saya menjadi gagap. Entah karena trauma itu penyebabnya, saya tidak bisa memastikannya.

Fitriyani (33)
Warga Luengbaro, Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen

Saya Fitriyani. Ketika masa konflik, saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Dalam ingatan saya yang agak samar-samar, saya sering bermain dengan adik yang paling kecil, umurnya masih satu tahun. Adik saya badannya gemuk, kulitnya putih. Saya sering menggendongnya.

Siang hari tentara sering berdiri di depan rumah kami. Entah untuk berjaga atau apa, saya tidak tahu jelas. Ayah saya seorang pegawai negeri sipil (guru), jadinya para tentara cukup baik pada ayah. Terkadang, ada juga yang menodongkan senjata sehingga ayah harus menampakkan surat-surat sekolah sebagai bukti ia abdi negara.

Ada hari yang mencekam saat kontak senjata antara GAM dan TNI terjadi di desa kami di Luengbaro, Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen.

Ketika mobil tank lalu-lalang di depan rumah kami. Saat suara bom menggelegar dan menggetarkan tanah. Kami tidak tidur di atas kasur atau di dalam kamar, tapi di tanah yang beralaskan terpal biru.

Ayah menggali lubang di dalam rumah untuk tempat persembunyian saya, mamak, dan adek. Agar peluru tidak mengenai kami. Itu trauma yang masih saya rasakan saat ini, takut gelap.

Di malam hari, sering terdengar suara langkah sepatu yang berat. Ayah selalu tidur di balik pintu sehingga bisa langsung membukanya ketika ada yang mengetuk pintu. Yang datang laki-laki, mereka minta beras, uang, kadang bebek atau ayam juga.

Adik saya dulu sampai takut setiap melihat orang memakai baju hitam. Pernah di suatu siang, kami tinggal bertiga di rumah: adik, saya, dan mamak. Lalu, datang tentara berpakaian hitam dan menodongkan senjata di pelipis mamak. Sedangkan adik saya dalam gendongan mamak. Orang itu bertanya, ayah saya di mana, apakah ayah saya seorang GAM?

Itu menjadi trauma berat untuk adik saya. Sampai saya kelas 5 SD kalau saya tak salah ingat. Setiap dia melihat orang berbaju hitam, dia pasti menangis tak henti-henti. Sampai-sampai mesti dirajah untuk mengembalikan semangatnya (tueng seumangat).

Lambat laun ia mulai sembuh dari ketakutan itu. Tapi saatnya bisa bicara, adik saya menjadi gagap. Entah karena trauma itu penyebabnya, saya tidak bisa memastikannya.

Banyak juga orang hilang di desa kami. Hampir tiap hari suara tam tum terdengar. Tak jauh di depan rumah kami ada kamp tentara, mereka sering turun ke rumah kami. Ada yang baik, ada yang sebaliknya.

Yang baik sering memberi kami roti (ransum) yang keras. Ada yang membacakan cerita dongeng. Ketika sedang tidak kontak senjata, mereka sering duduk ramai-ramai di depan rumah kami. Halaman rumah penuh dengan manusia berbaju loreng.

Saat kamp itu kosong, justru GAM yang sering ke rumah kami. Mereka makan di rumah kami. Mamak selalu kewalahan untuk masak dalam jumlah besar. Setelah makan, mereka pulang dengan membawa beras, bebek, ayam, kadang sejumlah uang yang diberikan ayah semampunya.

Pernah sekali waktu, ayah menyuruh kami buru-buru masuk ke lubang persembunyian. Saya dan adik ditidurkan beralaskan bantal, semua duduk di lubang itu. Ternyata, sesaat kemudian lewat mobil tank, diikuti gelegar suara bom. Jaraknya sekitar dua kilometer dari rumah kami.

Harapan saya, jangan ada lagi konflik di Aceh, apa pun jenis dan bentuknya. Karena masih banyak anak-anak yang dulu terpapar langsung dengan kekerasan konflik, sekarang mereka sudah dewasa dan masih belum pulih dari rasau trauma.

Semoga damai ini abadi. Pemerintah Aceh juga tidak boleh melupakan orang-orang yang telah berjasa di masa lalu.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *