Jika melihat dengan empati dan mata hati, maka kita akan menyadari bahwa tidak sedikit orang muda yang tinggal tak jauh dari sekolah dan kampus terbaik di Aceh, justru tidak mendapatkan kesempatan dan akses untuk mengenyam pendidikan di sana.
Mak Yet (53)
Warga Desa Lhong Raya, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh
Waktu itu, usia saya sekitar 17 tahun. Saat libur sekolah di Banda Aceh, teman akrab saya mengajak untuk menginap di rumahnya, di Tangse. Di sanalah pertama kali saya melihat langsung gunung dibakar semasa konflik bersenjata. Saat itu barulah saya sadar bahwa ternyata DOM semengerikan itu. Pahamlah saya alasan mengapa orang-orang melarikan diri ke Banda Aceh.
Sempat muncul perasaan takut yang teramat sangat, setelah tiga malam saya menginap di Tangse. Bahkan saya sempat tidak berani ke mana-mana setelah penyaksian singkat atas efek kerunyaman yang ditimbulkan akibat konflik bersenjata di Pidie.
Bagi orang muda yang tinggal di seputaran Banda Aceh, sejatinya saya tidak benar-benar mengerti makna DOM itu sendiri. Memang saya sempat mendengarkan desingan bunyi peluru yang berterbangan dari berjarak sekitar dua kilometer dari arah sawah dan rawa sekitar Lhong Raya (Kec. Banda Raya). Tapi bunyi itu cukup jauh. Saya tidak pernah tahu sebelumnya kalau pergolakan konflik bersenjata terjadi begitu panas di daerah-daerah.
Mungkin kengerian serupa yang menjadi alasan kuat bagi ayah menghapus marganya dari belakang nama saya dan tiga saudara lainnya. Sitompul, garis keturunan dari Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Bukan hanya dari ijazah, nama marga itu bahkan sudah sirna sejak pembuatan akta kelahiran kami.
Walau ibu saya seorang asoe lhok dari Lhong Raya serta saya yang lahir dan besar di Banda Aceh, tetap ada rasa pilu ketika mengingat bahwa konflik bersenjata menjadi penyebab saya beserta saudara lainnya harus menghilangkan identitas diri hanya demi memperoleh rasa aman, bahkan mungkin agar bisa lepas dari petaka bernama ajal.
Sempat suatu kali, di saat kegentingan efek DOM sudah mulai menjalari Banda Aceh, ayah berkeinginan untuk kembali ke kampung halamannya di Tapanuli. Namun, niat tersebut diurungkannya. Ayah bilang, “Alah, kalau mati, matilah!”
Ayah sangat pintar berbahasa Aceh. Namun logat Bataknya tetap mencuat kuat. Saat berbicara dalam bahasa Aceh, tutur katanya menjadi runut dan terdengar lebih lembut. Dia adalah seorang laki-laki Tapanuli Utara yang memilih merantau ke Banda Aceh demi mencari rezeki untuk menyambung hidup setelah orang tuanya meninggalkan dunia.
Saya rasa tentu berat bagi ayah menanggalkan kenangan indah satu-satunya dari kampung halamannya—sempena nama marga Sitompul—dari anak-anaknya. Akan tetapi tampaknya ayah lebih mementingkan keselamatan kami. Sebab marga tersebut bukan saja menghadirkan identitas kesukuan yang berbeda, tetapi juga dapat menyiratkan identitas sebagai mayoritas dari pemeluk agama yang tak sama.
Sepertinya ayah paham betul bahwa ada identitas yang menguntungkan dan ada pula identitas yang jika dimunculkan pada waktu dan saat yang salah akan berbuah petaka.
Kembali ke masa konflik bersenjata di provinsi terbarat Indonesia. Ungkapan “apalah arti sebuah nama,” benar-benar tidak berlaku di wilayah ini. Saya, mahasiswi Pendidikan Seni di Universitas Syiah Kuala—yang bertolak dari Aceh menuju Medan demi mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas)—menjadi saksi hidup akan betapa nama di masa itu bisa seberharga nyawa.
Dalam perjalanan, berkali-kali bus kami dihentikan. Penyebabnya karena di dalam bus terdapat nama-nama yang disinyalir menunjukkan identitas kesukuan berbeda. Sebab nama mereka didominasi huruf O. Huruf khas yang menyirat kental kesukuan dominan dari lawan politik semasa konflik bersenjata.
Namun, tampaknya keberuntungan masih berpihak ke pada kami, kartu resmi dari kampus yang menunjukkan identitas kami sebagai mahasiswa membuat kami mengantongi izin untuk melanjutkan perjalanan.
Kini di tahun 2025, saat kembali merefleksikan momentum 20 tahun Aceh damai, sebagai seorang guru dan seorang nenek yang sudah memiliki cucu, alih-alih merasa gempita, saya justru gusar. Dua dekade damai di Aceh terlihat bagaikan api dalam sekam. Kedamaian yang tampak semu di mata masyarakat awam seperti saya tentunya.
Saya tidak kunjung paham akan tujuan sesungguhnya dari perjuangan berdarah-darah rakyat Aceh di masa konflik bersenjata terdahulu. Bahkan, kini saya ragu akan hasil kedamaian sejati yang konon katanya dihadirkan demi kesejahteraan rakyat kecil.
Saya melihat Aceh sebagai daerah yang sangat kaya, tetapi mengapa kebanyakan rakyatnya justru jauh dari kata sejahtera. Apa karena ambisi segelintir orang yang mau hidup sempurna? Sehingga rela mengorbankan banyak hal, termasuk rasa kemanusiaan.
Sebagai guru, saya merasa tugas mendidik kian hari kian berat. Guru diwajibkan untuk mengarahkan anak-anak melalui sentuhan emosi dan memberi pemahaman agar mereka tidak menjadi orang yang mengambil hak orang lain.
Para guru berusaha mengajarkan anak-anak murid di sekolah untuk menjadi orang baik, berkasih sayang, dan menjadi jujur. Namun, apa lacur, kebanyakan anak-anak di zaman kini telah kehilangan teladan, baik dari sosok orang tua maupun para pejabat daerahnya.
Belum lagi kesempatan untuk mencerdaskan diri yang tampak semakin tidak mungkin. Andai kita bijak berkaca dari runyamnya pendidikan di masa DOM, di mana banyak anak-anak Aceh yang berhenti belajar karena sekolah-sekolah mereka dibakar. Kini, di masa yang katanya damai ini, mimpi buruk itu seakan terulang kembali. Kampus-kampus yang seharusnya menjadi Jantong Ate Rakyat Aceh itu sekarang seakan tak lagi memprioritaskan pendidikan putra-putri daerahnya sendiri.
Layaknya kata pepatah, “Bagaikan ayam yang mati di lumbung padi”, jika melihat dengan empati dan mata hati, maka kita akan menyadari bahwa tidak sedikit orang muda yang tinggal tak jauh dari sekolah dan kampus terbaik di Aceh tapi tidak mendapatkan kesempatan dan akses untuk mengenyam pendidikan di sana.
Tidak ada keringanan, tidak diprioritaskan, walau para ahli perdamaian bersepakat bahwa dukungan dan perlindungan terbaik harus diberikan kepada orang-orang yang sudah mengalami masa suram yang begitu panjang selama kejadian pelanggaran HAM berat, para penyintas konflik bersenjata di Aceh misalnya.
Jika melihat dengan empati dan mata hati, maka kita akan menyadari bahwa tidak sedikit orang muda yang tinggal tak jauh dari sekolah dan kampus terbaik di Aceh, justru tidak mendapatkan kesempatan dan akses untuk mengenyam pendidikan di sana.[]