Kategori
Perempuan Berdaya

Perjuangan Meutia Delima Mengenalkan Literasi di Lapas Perempuan

HAMPIR menjelang siang saat saya tiba di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIB Sigli hari itu. Namun, karena cuaca mendung, tampak suasananya seperti masih pagi. Membuat perjalanan sejauh seratus kilometer dari Banda Aceh yang saya tempuh selama dua jam dengan sepeda motor terasa tidak melelahkan. Meskipun hanya berkendara seorang diri, perjalanannya terasa mengasyikkan. Di sepertiga perjalanan, saya sempat berteduh sebentar karena hujan.

Setelah agak reda, barulah kembali melanjutkan perjalanan sambil menikmati hawa sejuk yang tertinggal dari sisa-sisa hujan. Saat melewati kawasan Gunung Seulawah, hidung saya menangkap aroma hutan yang segar setelah diguyur hujan. Juga wangi bunga pinang yang sedang mekar dari kebun penduduk. Perjalanan saya berhenti di Kilometer 108 Jalan Medan Banda Aceh, tepatnya di Gampong Tibang, Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie, Rabu (7/4/2021). Itulah Lapas Perempuan Kelas IIB Sigli, yang menjadi tujuan perjalanan saya hari itu.

Lapas ini baru beroperasi pada 2015 lalu. Setidaknya, terdapat 127 warga binaan di sana. Mereka adalah para narapidana perempuan transferan dari berbagai lapas yang ada di Aceh seperti Aceh Tamiang, Aceh Besar, dan Aceh Tengah. Kasus mereka beragam, tetapi dominan karena kasus penyalahgunaan narkoba. Kedatangan saya ke sana untuk bertemu dengan Meutia Delima Ibrahim. Salah seorang aparatur sipil negara yang memiliki peranan penting dalam membimbing warga binaan di lapas itu.

Begitu tiba di lapas, saya segera menghubungi Meutia. Berselang menit, muncul sosok perempuan dengan seragam biru muda berpadu rok biru tua. Senyumnya mengembang. Menyambut kedatangan saya dengan hangat dan semringah. “Yuk, masuk,” ajaknya.

Saya pun mengekorinya. Kami melewati pintu utama yang tak lebih besar dari ukuran separuh jendela. Mau tidak mau harus masuk sambil menunduk. Saya membayangkan, seseorang dengan tubuh big size tentu tidak akan bisa melewati pintu mini tersebut. Saya menitipkan tas di loker sebelum kami kembali melewati pintu berukuran mini yang menghubungkan dengan area belakang. Di sanalah pusat segala aktivitas para warga binaan berlangsung. “Kita ke sana,” kata Meutia yang mengiringi saya sambil menunjuk pada sekelompok ibu-ibu, jumlah mereka hanya belasan orang, “mereka sedang ikut pengajian dengan seorang ustazah. Karena ini menjelang puasa, jadi ceramahnya bertema tentang Ramadan,” sambungnya.

Meski baru setahunan bertugas di sana, Meutia Delima yang kini dipercayakan sebagai Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Kegiatan Kerja telah menginisiasi beberapa kegiatan. Salah satunya adalah pengajian yang berlangsung hari itu. Ide membuat pengajian ini berawal dari keprihatinannya setelah melihat banyaknya warga binaan yang tidak bisa membaca Al-Qur’an dan memiliki pengetahuan agama yang minim. Dibantu staf yang lain, Meutia lantas membentuk kelompok tahsin dan mengundang ustazah untuk membantu memperbaiki bacaan Al-Qur’an para warga binaan. Jadwal pengajian berlangsung setiap Senin—Kamis dengan durasi sekitar dua jam.

“Saya sedih karena banyak di antara mereka yang tidak bisa mengaji, kalau tidak bisa membaca Al-Qur’an, bagaimana mereka mau mendekatkan diri kepada Allah. Selama ini, berbagai persoalan hidup yang dialami barangkali telah membuat mereka tidak punya waktu untuk belajar mengaji dan ilmu agama, makanya saya tergerak untuk menjadikan ini sebagai salah satu program binaan di lapas. Jadinya tidak hanya keterampilan fisik yang diajarkan di sini, biar seimbang, kegiatan rohani juga harus ada,” kata Meutia usai pengajian.

Pengajian yang sedang berlangsung menjelang bulan puasa Ramadan di Lapas Perempuan Kelas IIB Sigli

Sistem pengajian juga dibuat berjenjang, yang belum lancar mengaji dimasukkan dalam kelompok belajar Iqra’, sedangkan yang sudah mahir dimasukkan dalam kelompok belajar Al-Qur’an. Mereka yang sudah mahir membaca Al-Qur’an kemudian ditunjuk menjadi pengajar Iqra. Sebelumnya mereka sudah dilatih metode mengajar Iqra’ secara bertahap. Meutia mengundang teman-teman alumninya di Pesantren Jeumala Amal, Pidie Jaya, untuk melatih mereka. Melalui aktivitas ini, mereka sebenarnya sedang diajarkan tentang tanggung jawab dan peran sosial. Sesuatu yang tidak boleh hilang meskipun mereka sedang berada di lapas. Beberapa di antara mereka bahkan diberi tanggung jawab dan kepercayaan lebih untuk mengontrol rekan-rekannya.

Beranjak dari sana, Meutia lantas mengajak saya berkeliling kompleks. Sembari itu, kami terus bertukar cerita. Meutia mengakui, semuanya tidak berjalan mudah. Di awal-awal, hanya satu dua yang antusias mengikuti program pengajian ini. Namun, ia punya pendekatan tersendiri untuk mengetuk hati warga binaan. Sistem reward pun diberlakukan.

“Yang mau ikut pengajian saya beri hadiah,” ujar ibu empat anak kelahiran Banda Aceh, 30 November 1979 itu. “Hadiahnya tidak besar-besar, paling-paling seperti sabun mandi atau shampo sachet, kadang-kadang saya beri bros, tapi itu cukup memotivasi mereka. Sekarang tanpa hadiah pun, alhamdulillah di musala selalu ramai saat pengajian berlangsung.” Hadiah-hadiah itu dibeli dengan uangnya sendiri.

Salah seorang peserta sedang mencurahkan isi hatinya pada Meutia sesaat setelah pengajian usai

Meskipun status mereka sebagai warga binaan yang notabenenya sedang menjalani masa hukuman, tetapi kata Meutia, sejatinya mereka adalah manusia yang tetap butuh diperlakukan sebagai manusia. Itu sebabnya, Meutia tak pernah bersikap arogan pada mereka. Namun, bukan berarti tidak bersikap tegas. “Ngapain kita marah-marah, yang ada kita capek sendiri,” katanya.

Ya, apa yang dikatakan Meutia agaknya memang tidak berlebihan. Usai pengajian hari itu misalnya, saya melihat beberapa peserta langsung menghampiri Meutia. Mereka mencurahkan isi hatinya dengan leluasa. Bahkan ada yang berulang kali mengakui kesalahan yang telah dilakukannya sambil menangis. Adegan itu memperlihatkan adanya keterhubungan yang lekat antara Meutia dengan warganya di lapas. Interaksi yang intens dengan warga binaan memang menjadi hiburan tersendiri bagi Meutia yang harus meninggalkan buah hatinya di Banda Aceh.

Di awal-awal kelas pengajian dijalankan, juga terkendala karena tidak ada fasilitas Al-Qur’an dan Iqra’ yang memadai. Meutia lantas berinisiatif menggalang donasi Al-Qur’an. Ibunya, Hasnani, yang selalu menjadi supporter terbesarnya, menjadi jembatan dengan para donatur. Kini, setiap peserta memiliki Al-Qur’an masing-masing yang bisa dibawa ke kamar mereka agar bisa dibaca berulang-ulang. Setiap ada peserta yang berhasil khatam Al-Qur’an, selalu dirayakan dengan peusijuk atau menepungtawari mereka sesuai tradisi dalam masyarakat Aceh. 

Mahasiswa program doktoral UIN Ar-Raniry ini juga menginisiasi kelas membaca kitab Masailal Muhtadin kepada warga binaan. Kitab ini berbahasa Arab Jawi yang membahas tentang dasar-dasar agama Islam, akidah, dan tata cara beribadah. Gurunya adalah seorang pegawai di lapas. Kitab ini dan beberapa kitab dasar lainnya seperti Tanbihul Ghafilin menjadi pelajaran wajib bagi santri-santri usia sekolah dasar di Aceh yang mengaji di pesantren. Tak heran jika Meutia menjadikan ini bagian dari pelajaran di lapas. “Harapannya setelah mereka keluar dari sini nanti bisa membaca kitab Arab Jawi,” kata Meutia yang sebelumnya bertugas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Banda Aceh.

Salah seorang warga binaan yang didampingi seorang sipir perempuan sedang mempraktikan keterampilan menjahit

Sebagai seseorang yang melek literasi, Meutia menyadari benar bahwa orang dengan tingkat literasi yang baik akan tumbuh sebagai sosok yang berkarakter. Misalnya, mereka tidak mudah terpengaruh dan terjerumus pada hal-hal negatif yang merugikan. Karakter inilah yang pelan-pelan ingin ia tanamkan pada penghuni lapas. Itulah kenapa, meskipun program-program seperti di atas tidak termasuk dalam daftar program wajib, dan tentu saja akan menguras tenaga dan pikiran ekstra, Meutia tetap mengusahakannya semaksimal mungkin.

Dia juga memanfaatkan jejaringnya dengan berbagai individu dan komunitas untuk menyuplai buku-buku bacaan ke lapas. Pada Maret 2021 lalu misalnya, lapas baru saja menerima pinjaman seratus buku dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Rumah Baca Aneuk Nanggroe Banda Aceh. Kehadiran buku-buku tersebut di lapas melalui Program Rumah Pustaka RUMAN menghadirkan pojok baca di lapas. Para warga binaan bisa mengakses buku-buku tersebut kapan pun mereka mau. Lapas ini merupakan titik ke-56 Rumah Pustaka RUMAN sejak program itu diluncurkan pada Januari 2015 silam. Selain itu, lapas juga memiliki pustaka di area minimum security. Namun, koleksinya lebih banyak kitab-kitab dan bacaan-bacaan berat.

“Buku-buku yang mereka baca pelan-pelan akan mengubah pola pikir mereka. Namun, karena minat baca mereka juga masih rendah, buku-buku yang disediakan di sini sengaja dibuat bervariasi, yang ringan-ringan juga ada seperti novel.”

Tidak hanya RUMAN, melalui rekannya Azwir Nazar, pemilik lembaga Cahaya Aceh, juga pernah menerima sumbangan buku bacaan. Meutia juga memprovokasi beberapa warga binaan untuk menulis. Selain untuk mengasah keterampilan mereka di dunia tulis-menulis, aktivitas ini juga dilakukan sebagai upaya healing.

“Dengan menulis mereka bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di hati. Dari kegiatan-kegiatan yang pernah saya ikuti, dijelaskan kalau menulis ini bagus untuk self healing. Makanya, walaupun saya sendiri tidak mahir menulis, tapi saya ingin mereka bisa menulis, biar mereka plong,” kata Meutia.

Dari banyak penghuni lapas, hanya belasan saja yang mau mengikuti kelas menulis. Namun, hasilnya cukup menggembirakan. Saat ini ada belasan tulisan yang berhasil dikumpulkan dan rencananya akan dibukukan. Meutia berharap, tulisan-tulisan itu nantinya bisa hadir sebagai produk literasi yang bisa dibaca banyak orang sebagai bahan pelajaran, agar tak ada yang mengikuti jejak-jejak mereka sehingga harus berakhir di balik jeruji besi.

Meutia Delima dengan hasil kerajinan warga binaan

Gagasan serupa juga pernah dilakukan Meutia saat masih di LPKA Banda Aceh pada 2019 lalu. Saat itu dia menginisiasi anak-anak yang sedang berhadapan dengan hukum untuk menuliskan berbagai kisahnya hingga lahirlah buku Kepak Sayap yang Tertunda. Di LPKA, Meutia dan tim juga membuka PKBM yang diberi nama Meutuah yang terinspirasi dari namanya sendiri selaku kepala PKBM. Pemilihan nama itu tentunya atas persetujuan Kalapas saat itu Ridha Ansari.

Bagi Meutia, apa yang dilakukannya itu mungkin terlihat sederhana, tetapi tidak bagi para warga binaan. Aktivitas literasi yang mereka lakoni di lapas tidak hanya memberikan mereka keterampilan membaca Al-Qur’an, kitab, atau menulis saja, tetapi juga bisa meningkatkan rasa percaya diri dan membentuk kepribadian mereka. Mereka menjadi lebih mengenal diri sendiri dan memiliki tujuan hidup. Seperti yang diakui oleh salah seorang tahanan usai pengajian, menjalani kehidupan di lapas telah membuat mereka paham agama, tidak seperti sebelumnya yang sibuk mengejar dunia sehingga nyaris melupakan Tuhan.[]

24 tanggapan untuk “Perjuangan Meutia Delima Mengenalkan Literasi di Lapas Perempuan”

Mantap, semoga menjadi inspirasi bagi lapas/rutan lain dan semakin banyak para warga binaan yang berminat untuk belajar menulis.

Saya kagum dengan kak mutia. Beliau dikenal ramah, ikhlas dan cerdas. Didikasi dan kecintaannya terhadap pekerjaan, menjadikan ia sosok yang inspiratif

Sukses selalu kakak Tia..semoga amal ibadah yang kakak lakukan Allah balas dengan ribuan pahala..🤲🤲🤲amin…

Salam, Terima kasih sudah memberikan kesempatan untuk berkomentar dalam hal mengenalkan literasi bagi Lapas perempuan kelas II Sigli, menarik sekali apa yang disampaikan dan yang digambarkan, semoga kiranya dapat menambah pengetahuan dan ilmu bagi kita semua khususnya para napi. Kedepan diharapkan lebih banyak lagi muncul srikandi2 yang peduli terhadap masalah-masalah dalam masyarakat.

Luar biasa memang ibu Mutia… dengan semangat selalu memberikan cahaya kedamaian di dalam Lapas Perempuan Kelas IIB Sigli

Memang luar biasa ibu Mutia dengan semangat dan sabarnya selalu menciptakan kedamaian di Lapas Perempuan Kelas IIB Sigli🙏

Ihan salah seorang penulis luar biasa, tulisannya sangat menggugah dari hal yg biasa biasa saja seperti kegiatan saya akan menjadi luar bissa di tangan Luhan. Sukses terus ihan….Bahagia dunia akhlrat.

Semoga apa yang dilakukan oleh petugas sipir wanita tersebut bisa dijadikan mitigasi bagi pegawai sipir lainnya khususnya di aceh

Tulisan ihan selalu luar biasa, menyentuh dan menggugah. Kegiatan biasa2 saja saya menjadi luar biasa dengan uraian kalimat ihan.
Tq buanyak ihan. Semoga bahagia dunia akhirat

Membaca adalah obat saat kita haus akan pengetahuan..
Semangat memperjuangkan hak perempuan ibu..
wanita harus cerdas krn dia sekolah pertama untuk anaknya

Suatu bentuk gebrakan baru dalam hal program “self healing” disamping kegiatan rehabilitasi. Membaca Alquran/Iqra dan penyampaian uneg2 yang dituangkan kedalam bentuk tulisan dapat menjadi jembatan penghubung dan menumbuhkan rasa kekeluargaan yang erat antara WBP dan petugas dalam hal pengamatan yang lebih dalam bagi insan polsuspas sehingga dapat juga dikategorikan ke dalam bagian proses Deteksi Dini.
Semoga menjadi tauladan dan menginspirasi bagi Lapas lapas lainnya.
Terbaik untuk bu Tia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *