Kategori
Feature Indepth

Menggamat Menjelang Tamat

MENJELANG asar sore hari itu, langit Menggamat tampak redup dikulum mendung. Matahari memang tampak bermalas-malasan sejak pagi. Bahkan, rintik hujan mulai jatuh satu per satu saat perempuanleuser.com tiba di Desa Simpang Dua, Kemukiman Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan, Rabu, 8 November 2023.

Perjalanan di Simpang Dua hanya sampai pada sebuah jembatan kecil berkonstruksi permanen di pinggiran desa. Jembatan tersebut menjadi akses utama bagi warga untuk pergi ke kebun serta menuju ke lokasi pertambangan yang ada di Simpang Dua. Di kejauhan tampak sebujur pegunungan yang masih tertutup oleh pepohonan. Sementara itu, di bagian bawah tampak tanah-tanah kuning yang sudah “plontos”.

“Itu area tambang bijih besi,” kata S (40), salah satu warga Menggamat yang menemani perempuanleuser.com ke lokasi.

Saking dekatnya areal tambang dengan permukiman warga, deru alat berat dan truk terdengar hingga ke tempat kami berdiri di jembatan.

Saat melongok ke bawah, air sungai tampak keruh karena material tanah yang sudah dikeruk di atasnya terikut oleh aliran sungai. Sedangkan di percabangan sungai yang lain, airnya tampak hijau dan jernih. Pemandangan yang sangat kontras.

Sementara itu, dua bocah terlihat berenang dengan riang di sungai yang keruh itu. Mereka melompat dan menyelam di bawah air tanpa terganggu dengan keruhnya air sungai.

Tak berlama-lama di situ, dengan dua sepeda motor, perempuanleuser.com beranjak menuju ke Desa Simpang Tiga, yang bersebelahan dengan Simpang Dua. Simpang Tiga adalah desa terakhir yang berbatasan langsung dengan hutan.

Di desa inilah terdapat lokasi pertambangan milik PT Beri Mineral Utama yang pada Juli 2023 telah menyebabkan kemurkaan masyarakat Menggamat. Pasalnya, perusahaan yang mendapat izin usaha pertambangan untuk menambang bijih besi itu turut menambang emas. Buntut dari kemurkaan itu, izin eksplorasi perusahaan tambang emas ilegal itu dicabut.

Namun, petaka yang ditinggalkan oleh perusahaan itu terus menjadi momok bagi masyarakat Menggamat.

Rintik hujan sore itu semakin lebat. Jalan menanjak berupa tanah kuning yang belum teraspal menuju lokasi BMU menjadi licin dan lengket. Nyaris saja sepeda motor yang dikendarai tergelincir karena kehilangan keseimbangan.

Di pinggir aliran sungai yang ada di Desa Simpang Tiga, tampak sebuah alat berat sedang mengeruk endapan lumpur di sungai. Sebelumnya, pada aliran sungai yang lain tampak seorang perempuan mencuci pakaian di sungai.

Perjalanan kami di Simpang Tiga hanya sampai di simpang masuk areal PT BMU.

“Ulah perusahaan emas ilegal itulah yang telah menyebabkan Sungai Menggamat menjadi keruh berlumpur pada Juli lalu,” kata S di sela-sela obrolan.

***

Penampakan pusat ibu kota kecamatan Kluet Tengah di Desa Koto, Kemukiman Menggamat, Aceh Selatan. @perempuanleuser.com

MENGGAMAT adalah satu dari dua kemukiman (kelurahan) di Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan. Luas Kecamatan Kluet Tengah hanya 127,45 kilo meter dan memiliki 13 desa: Jambo Papan, Koto Indarung, Siurai-Urai, Malaka, Lawe Melang, Koto, Kampung Sawah, Kampung Padang, Pulau Air, Mersak, Simpang Dua, Simpang Tiga, dan Alur Kejrun.

Ibu kota kecamatan ini terletak di Desa Koto. Berdasarkan data Kluet Tengah Dalam Angka 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik Aceh Selatan, per tahun 2021, jumlah penduduk di kecamatan ini kurang dari delapan ribu jiwa.

Sebagian besar masyarakat Menggamat menggantungkan hidupnya dari pertanian dan perkebunan. Mereka bercocok tanam palawija seperti padi dan sayur-sayuran. Ada juga yang menggantungkan hidup dari kebun durian, pisang, pinang, nilam, ataupun sawit.

Ada beberapa sungai di wilayah Menggamat, di antaranya, Sungai Menggamat dan Sungai Cempali yang menjadi sumber kehidupan tersendiri bagi masyarakatnya. Aneka jenis ikan air tawar di dua sungai tersebut menjadi sumber protein hewani bagi warga Menggamat yang jauh dari laut.

Selain itu, mereka juga mengandalkan sungai untuk mandi dan mencuci, serta kebutuhan air bersih lainnya. Untuk minum, warga mengandalkan sumber-sumber mata air maupun air tanah (sumur).

Sistem kekerabatan masyarakat di sana tergolong tinggi karena mereka sangat homogen. Di Kecamatan Kluet Tengah, dominan penduduknya adalah suku Kluet atau Keluwat yang masuk dalam etnis rumpun Batak. Selain di Kluet Tengah, suku ini juga mendiami wilayah Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, dan Kluet Timur di Aceh Selatan.

Belakangan, sejak ditemukan kandungan mineral bijih besi dan emas di dalam perut tanah Menggamat, perusahaan tambang mulai masuk untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi. Warga pun ikut-ikutan mengolah emas secara mandiri. Dari sini lah, pelan-pelan ketenangan alam di Menggamat terusik.

“Puncaknya pada bulan Juli 2023, Sungai Menggamat tiba-tiba berubah warna menjadi sangat keruh, lebih pekat dari cokelat susu, warnanya cokelat kemerahan,” kata E (34), warga Desa Koto pada Senin, 6 November 2023.

Perubahan warna air sungai ini menggegerkan warga karena kondisi air keruh seperti itu bertahan hingga sepekan. Apalagi cuaca bulan Juli sedang terik-teriknya dan tidak sedang turun hujan.

“Kalaupun keruh karena hujan, warnanya tidak kemerahan seperti itu, cokelat biasa saja,” kata E lagi.

Penampakan Sungai Menggamat pada Juli 2023.

Selidik punya selidik, keruhnya sungai ternyata disebabkan oleh longsoran material tanah yang dikeruk oleh perusahaan tambang PT Beri Mineral Utama yang berada di hulu, tepatnya di Simpang Tiga. Dari hulu yang berada di Simpang Tiga, aliran Sungai Menggamat ini setidaknya melewati delapan desa di Kluet Tengah, yaitu Simpang Dua, Mersak, Pulau Air, Kampung Padang, Kampung Sawah, Koto, dan Malaka hingga akhirnya menuju hilir yang berujung ke Samudra Hindia di selatan.

PT Beri Mineral Utama merupakan salah satu perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Aceh Selatan. Berdasarkan data izin usaha pertambangan yang diterbitkan Pemerintah Aceh, PT BMU memiliki izin terbit dengan SK Nomor 13 Tahun 2014 dengan cakupan areal seluas seribu hektare di Kluet Tengah.

Izin berlakunya sejak 12 Desember 2012 hingga 24 Januari 2032 dengan izin komoditasnya untuk mineral bijih besi. Inilah yang menjadi punca murkanya warga Menggamat. Selain mengambil bijih besi, diam-diam perusahaan ini juga mengambil emas.

Warga resah karena proses perendaman material yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dapat mencemari sungai-sungai mereka.

Efek keruhnya air sungai, warga pun bergerak. Persoalan itu diadukan ke pihak kecamatan hingga sampai ke pihak kabupaten, seterusnya sampai ke tingkat provinsi. Masyarakat mendesak agar izin operasional PT BMU dicabut permanen. Perendaman emas yang dilakukan di hulu jelas-jelas mengancam hajat hidup ribuan warga Menggamat.

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, mengatakan, terhitung Kamis, 14 September 2023, Pemerintah Aceh melalui Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu telah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BMU.

“Pencabutan izin ini dilakukan setelah Pemerintah Aceh menerima hasil evaluasi dan verifikasi faktual yang dilakukan Tim Evaluasi Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dalam wilayah Aceh,” kata Muhammad MTA.

Berdasarkan hasil audit juga, PT BMU terbukti melanggar izin usaha pertambangan karena turut menambang emas, padahal izin yang dikantongi hanya untuk menambang bizin besi. Perusahaan itu terbukti melakukan eksploitasi dan perendaman batuan menggunakan cairan sianida. 

Tim Evaluasi juga tidak menemukan adanya setling pond atau kolam pengendapan di wilayah IUP PT BMU sehingga air limpasan atau run off langsung menuju ke perairan umum.

Kelalaian ini menurut Muhammad MTA, sebagaimana dikutip dari laman acehprov.go.id, tidak saja berbahaya bagi masyarakat di sekitar kawasan, tetapi juga merusak lingkungan dan habitat sungai. Selain pencabutan izin, perusahaan juga diwajibkan untuk menyelesaikan berbagai tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada negara dan daerah hingga berakhirnya izin.

Masuk Kawasan Ekosisten Leuser

Akses jalan menuju ke lokasi PT BMU di Simpang Tiga, Menggamat. @perempuanleuser.

Berdasarkan penuturan tetua kampung Simpang Tiga, Sy (50), eksplorasi mineral di Menggamat sudah mulai dilakukan jauh sebelum pecahnya konflik bersenjata di Aceh yang eskalasinya terus memuncak pasca dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) pada Agustus 1998. Seiring dengan itu, mulai ada perusahaan pertambangan yang masuk untuk melakukan eksploitasi hingga diketahui adanya potensi mineral berupa bijih besih, emas, maupun batu kuarsit di perut bumi Menggamat.

“Berangkat dari sinilah mengapa banyak warga Menggamat yang mengolah emas sendiri. Mereka berpikir daripada emasnya diambil oleh perusahaan lebih baik diambil sendiri,” kata Sy, Rabu, 8 November 2023, yang juga mantan pekerja di perusahaan tambang.

Yang dikatakan Sy benar adanya. Banyak warga Menggamat mengolah emas secara tradisional dengan alat yang mereka sebut gelendong. Limbahnya ditampung di kolam penampungan dan airnya kemudian dialirkan ke parit-parit kecil.

Berakhirnya konflik bersenjata yang ditandai dengan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005, telah membuka keran “investasi” ke Aceh Selatan, termasuk di sektor pertambangan.

Pada 2010 misalnya, Pemerintah Aceh menerbitkan izin operasi produksi emas untuk PT Multi Mineral Utama seluas seribu hektare. Diikuti penerbitan izin operasi produksi bijih besi seluas seribu hektare untuk PT Beri Mineral Utama pada 2014. Penerbitan izin juga diberikan kepada Koperasi Serba Usaha Tiga Manggis seluas 200 hektare pada tahun 2020 dengan durasi sepuluh tahun.

Selain itu, juga ada penerbitan izin eksplorasi untuk dua perusahaan, yaitu PT Kotajajar Lempung Persada seluas 345 hektare pada 2022 untuk mineral jenis tanah liat (clay) dan PT Kotajajar Limestone Persada untuk eksplorasi batu gamping seluas 1.800 hektare pada 2019. Semua aktivitas pertambangan ini berpusat di desa-desa yang ada di Menggamat (Kluet Tengah).

Bahkan pada pertengahan 2023 perusahaan tambang lain juga mulai masuk ke Menggamat dan meminta rekomendasi kepala desa untuk izin penambangan kuarsit di Gampong Malaka dengan luas 46 ha.

Ironinya, beberapa desa di Menggamat bersama sejumlah desa di tiga kecamatan lainnya di Aceh Selatan masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Yakni hutan hujan seluas 2,6 juta hektare yang berperan besar sebagai penyangga hajat hidup masyarakat Aceh, terutama yang berkaitan dengan sumber air bersih. Berdasarkan data Walhi Aceh, tercatat 1,18 persen dari total 3.800 hektare areal pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Aceh terdapat di Kabupaten Aceh Selatan.

“Itu artinya, ada 41,16 hektare PETI yang terdapat di Aceh Selatan dan tersebar di tiga kecamatan yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser, yaitu Kluet Tengah tiga desa, Pasie Raja dua desa, dan Sawang satu desa,” kata Kadiv Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Afifuddin Acal pada Kamis, 21 Desember 2023.

Ketiga desa di Kluet Tengah yang berada di Kemukiman Menggamat adalah Desa Simpang Dua, Desa Simpang Tiga, dan Desa Mersak. Di Simpang Dua dan Simpang tiga inilah lokasi tambang berada.

Bahkan menurut Sy, hampir seluruh wilayah Desa Simpang Tiga masuk dalam kawasan konsesi tambang.

“Hampir semua desa ini dia (perusahaan tambang) kuasai, luasnya seribu hektare, itu di pinggir sawah sana, di gunung sebelah sana, sampai ke puncak terus ke Silolo (Pasie Raja) sampai ke bawah,” kata Sy sambil menujuk ke kawasan perbukitan di sekitar tempat tinggalnya.

Penggalian material tambang yang dilakukan PT BMU di Simpang Tiga tepat berada di hulu sungai sehingga mengalirnya material tambang ke sungai tak bisa dihindari.

“Apa pun ceritanya, sehebat apa pun teknisnya, tanah itu tetap ke sungai larinya. Mereka menggali untuk bikin pondok, tanahnya tetap ke sungai, mereka bikin bak perendaman itu lokasinya di atas sungai. Kenapa kemarin itu sungainya keruh, karena memang yang dirusak mata airnya. Jadi memang benar-benar dari hulunya yang dikerok,” ujar Sy.

Sungai Melang atau Lawe Melang di Menggamat. @perempuenleuser.com

Masih berdasarkan data Walhi Aceh, seluas 30,19 hektare kawasan PETI di Aceh Selatan melewati Daerah Aliran Sungai (DAS) Kluet. Sementara itu, berdasarkan data Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), selama lima tahun terakhir tercatat lima ratus hektare lebih hutan di DAS Kluet kehilangan tutupannya oleh berbagai aktivitas, di antaranya karena pertambangan.

Kehilangan tutupan hutan terbesar terjadi pada tahun 2020 seluas 165 hektare dan tahun 2018 seluas 135 hektare. Diikuti tahun 2022 seluas 101 hektare dan tahun 2021 seluas 91 hektare. Pada tahun 2019 tutupan hutan yang hilang seluas 85 hektare.

Rusaknya Sungai Menggamat

Penampaian air Sungai Menggamat dalam keadaan normal. @perempuanleuser.com

Kehadiran perusahaan tambang ke Menggamat sudah lama ditolak oleh masyarakat setempat. Bahkan penolakan dilakukan sejak tahun 2012. At (60) adalah salah satu perempuan yang sejak sepuluh tahun silam dengan tegas menolak masuknya tambang ke Menggamat. Ia menggalang ibu-ibu dan berdemo melawan perusahaan tambang PT Pinang Sejati Utama pada 2012.

“Kami demo mulai di kampung sampai ke Tapaktuan—ibu kota kabupaten,” kata At, saat ditemui di rumahnya, Selasa, 7 November 2023.

“Mobil-mobil perusahaan yang lewat kami adang dengan tali dan kayu, kami bentangkan di jalan supaya mobilnya nggak bisa lewat,” katanya lagi.

At berkisah, ketika itu warga meradang karena kehadiran truk-truk perusahaan tidak hanya merusak jalan, tetapi sampai menyebabkan bayi lahir di perjalanan karena terhalang antrean truk perusahaan.

Pemicunya, kata At, sudah jauh sebelum itu. Ketika warga mulai kesusahan mendapatkan air bersih. Sungai-sungai menjadi keruh dan tidak bisa lagi digunakan untuk mandi. Para pedagang yang kiosnya di dekat jalan dagangannya menjadi kotor dan berdebu.

Pernah suatu malam ketika sedang tidur, tiba-tiba At mendengar deru truk pengangkut material tambang. At bangkit tidurnya dan segera ke jalan untuk mencegat mobil tersebut.

Woe! Woe! Woe! Pulang! Pulang! Pulang!” kata At menirukan teriakannya kala itu. “Lalu teman saya datang dan melempari truk dengan batu, dari situlah kami lanjut demo ke Tapaktuan karena situasi sudah memanas. Asal lewat mobil tambang selalu kami lempar,” tambah dia.

Satu dekade lebih sejak demo-demo yang dilakukan At berlalu, kondisi di Menggamat bukannya malah membaik. Justru semakin memburuk. Aneka jenis ikan air tawar yang dulu hidup di Sungai Menggamat satu per satu hilang tak berwujud. Tak ada lagi ikan yang bisa dipancing warga.

“Karena memang ikannya sudah tidak ada,” kat S kesal.

“Bukan cuma itu, yang kami tahu sejak perusahaan tambang hadir kami di sini jadi lebih sering banjir, air sungai sering keruh, aliran sungai juga terjadi pendangkalan, sawah-sawah berlumpur yang berdampak pada berkurangnya hasil panen, ikan-ikan juga pada mati,” ujar ayah satu anak itu.

Di Kluet Tengah menurut S ada beberapa sungai, seperti Sungai Cempali, Sungai Melang, dan Sungai Kluet, tapi yang terdampak langsung dengan aktivitas pertambangan adalah Sungai Menggamat. Nyatanya, meskipun IUP PT BMU di Simpang Tiga sudah dicabut, tetapi karena yang di Simpang Dua masih beroperasi, kondisi air sungai seperti pada Juli lalu terulang kembali sepekan sebelum berakhirnya 2023.

Di minggu ketiga Januari 2024 ini, warna air Sungai Menggamat kembali semerah bata.

Sungai yang dulu berlimpah air, kini menjadi dangkal, airnya menyusut dan delta-delta terbentuk. Rerumputan beranak-pinak di delta itu. Kini hanya tinggal Sungai Cempali yang menjadi tumpuan utama masyarakat Menggamat, baik sebagai sarana transportasi air menuju Desa Alue Kejruen, maupun untuk mencari ikan  air tawar seperti keureuling atau ikan jurung.

Warga Menggamat lainnya, M, tak lagi dapat menyembunyikan kedongkolannya. Teriakan-teriakan masyarakat menurutnya hanya angin lalu dan tak ditanggapi serius oleh yang berwenang.

“Keruh air jika kita diam, jernih air jika selalu kita ribut. Tidak mesti hujan atau kemarau. Sampai kapankah keributan ini akan terjadi di tanah Seuramoe Mekah ini?” kata M bernada putus asa pada Selasa, 30 Desember 2023.

Yang lebih mencemaskan warga adalah dampak dari terbawanya zat-zat kimia di aliran sungai yang secara kasat mata efeknya telah dirasakan oleh masyarakat. Anak-anak yang mandi disungai terkena gatal-gatal. Beberapa ibu ditanyai juga menceritakan hal yang sama.

M adalah ibu dua anak yang akhirnya melarang putri sulungnya berenang di sungai karena gatal-gatal yang dideritanya tak kunjung sembuh.

“Kalau diobati sembuh sebentar, begitu mandi lagi di sungai, gatal lagi, setelah saya larang mandi di sungai barulah anak saya tidak gatal-gatal lagi,” kata M Rabu, 8 November 2023, sambil menunjukkan bintik-bintik bekas gatal di kaki putrinya yang kini sudah memasuki usia sekolah dasar.

Penampakan kaki putri M yang bekas gatal-gatal. @perempuanleuser.com

Menurut Manager Advokasi HAkA, M Fahmi (38), apa yang terjadi di Menggamat seperti simalakama. Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat sama-sama berdampak terhadap lingkungan, terutama kerusakan sungai. Namun, dengan skala produksi yang lebih besar, dampak negatif dari perusahaan jelas-jelas lebih besar.

“Yang menjadi masalah besar ini dari perusahaan karena memang langsung ke aliran sungai. Dampaknya juga sudah dialami oleh masyarakat, bukan soal keruhnya air, tapi juga habitat yang hidup di air itu mulai hilang, seperti ikan-ikan air tawar,” kata Fahmi, Rabu, 27 Desember 2023.

Persoalan ini memang menjadi ancaman bagi hajat hidup warga Menggamat karena mereka menggunakan langsung air sungai untuk mandi atau mencuci pakaian. Apalagi lokasi tambang berada di wilayah yang lebih tinggi dari permukiman penduduk.

Fahmi menyebut dalam kasus Menggamat, diperlukan penegakan hukum dan semua tambang yang beroperasi di Menggamat dievaluasi kembali. Selain itu ia juga menegaskan pemerintah tidak boleh sungkan untuk mengambil tindakan.

“Dampak dari tambang ini tidak hanya di Menggamat, tetapi juga bagi tiga kecamatan lain di bawahnya seperti Kluet Tengah, Kluet Utara, dan Kluet Selatan karena aliran sungainya sama,” kata Fahmi.

Meski belum ada penelitian yang spesifik, Fahmi meyebut bahwa efek dari kehadiran perusahaan tambang di Menggamat lebih dari sekadar hilangnya ikan-ikan di sungai atau munculnya gatal-gatal pada anak-anak yang mandi di sungai. Namun, telah menyebabkan lahirnya bayi-bayi yang prematur.

“Ini efek dari limbah-limbah yang mereka buang ke parit-parit, lalu limbah itu ada yang dimakan oleh hewan-hewan peliharaan, kemudian hewan itu mereka konsumsi, akhirnya berdampak pada janin-janin yang lahir cacat atau prematur,” kata akademisi Universitas Syiah Kuala, Herman (38), yang berasal dari Kluet, Aceh Selatan.

Sebagai “alumni” yang dulunya turut melakukan demo-demo menolak tambang di Menggamat, menurut Herman penyadaran tentang bahaya tambang, baik yang dilakukan perusahaan maupun yang dilakukan masyarakat perlu terus dilakukan.

Apa yang dituturkan Herman diamini oleh S. Bahkan anak laki-laki S yang kini berusia dua tahun, juga lahir prematur.

Bagi segelintir warga Menggamat, menolak eksistensi perusahaan tambang di sana ibarat perjuangan yang tak tahu kapan ujungnya. Karena selain berhadapan dengan perusahaan, mereka juga berhadapan dengan warga yang protambang.

Hal ini terlihat ketika terjadi demo penolakan terhadap PT BMU pada Juli 2023, tak semua warga mau terlibat. Bahkan ada yang kena ancam dan dikucilkan karena terang-terangan menyatakan menolak tambang. Ada yang istrinya terancam dipindahkan tempat kerja karena suaminya menolak tambang. Di lapangan menjadi lebih sulit karena yang menolak dan yang pro ada yang masih bertali kerabat.

Meski begitu, harapan terus dipupuk. S berharap agar pemerintah tidak setengah hati menyahuti suara hati masyarakat yang mengharapkan tak ada lagi eksploitasi tambang di Menggamat. Tak hanya BMU yang dicabut IUP-nya. Tetapi perusahaan lain yang masih beroperasi.

“Meskipun BMU sudah dicabut izinnya, tetapi perlu dipastikan tak ada lagi aktivitas yang dilakukan diam-diam karena alat beratnya masih di lokasi,” kata S.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *