Kategori
Literasi Pemilu Jurnalisme Warga

Mengenal Lembaga Penyelenggara Pemilu dari Level Nasional hingga Desa

Oleh Sartika Rahayu*

Menyambut pesta demokrasi pada pemilu dan pilkada serentak 2024 mendatang, tentu perlu persiapan yang panjang. Mulai perencanaan program dan anggaran, penyusunan peraturan, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, hingga pencalonan kontestan pemilu yang berakhir dengan penetapan dan pengucapan sumpah/janji kandidat terpilih.

Dari rangkaian persiapan pemilu dan pilkada yang cukup panjang ini, tentu ada baiknya kita juga mengetahui lembaga penyelenggara pemilu dan pilkada serta tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, masyarakat bisa bersinergi mendukung terselenggaranya pemilu yang jujur, adil, dan lebih baik dari tahun ke tahun.

Ada tiga lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Khusus KPU, merupakan amanat dari konstitusi UUD 1945 pasal 22F ayat 5 yang menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Namun, dalam tulisan ini saya akan menjelaskan tugas dan fungsi satu lembaga penyelenggara pemilu saja, yakni KPU dan turunannya.

Sejarah KPU di Indonesia

Berdasarkan penjelasan di situs kpu.go.id, pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia diselenggarakan pada 1955. Meski demikian, sejarah pembentukan lembaga penyelenggaraan pemilu sudah dimulai sejak 1946, ketika presiden pertama, Soekarno, membentuk Badan Pembentuk Susunan Komite Nasional Pusat dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Indonesia Pusat.

Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang bertugas sebagai badan penyelenggara pemilihan umum di Indonesia. LPU terbentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. Ketua LPU saat itu adalah Menteri Dalam Negeri dengan keanggotaan yang terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU, dan Badan Perbekalan dan Perhubungan. Pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 mengakhiri periode Orde Baru. Kemudian jabatan kepresidenan digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie).

Di masa BJ Habibie inilah awal sejarah Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia terbentuk. LPU bentukan Presiden Soeharto pada 1970 ditransformasi menjadi KPU melalui Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999. Transformasi LPU menjadi KPU dengan memperkuat peran, fungsi, dan struktur organisasi menjelang Pemilu 1999. Keanggotaan KPU pertama diisi wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil peserta (partai politik) Pemilu 1999 serta tokoh-tokoh masyarakat. Jumlah total anggota KPU sebanyak 53 orang dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.

Pembentukan KPU ini atas desakan masyarakat yang menuntut pemerintahan yang demokratis. Sebab kepemerintahan dan lembaga-lembaga lain adalah produk Pemilu 1997 era Orde Baru yang sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat Indonesia. Pemilu 1999 diadakan untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan masyarakat termasuk dunia internasional. Anggota-anggota KPU terdiri atas anggota sebuah partai politik, tetapi setelah dikeluarkan UU Nomor 4 Tahun 2000 maka anggota KPU wajib nonpartisan.

Sejarah KIP Provinsi Aceh

Masih sangat luas sejarah tentang pembentukan lembaga KPU di Indonesia. Tentu kita juga bertanya, mengapa di Aceh namanya Komisi Independen Pemilihan (KIP)? Khusus di Aceh, secara nomenklatur KPU disebut KIP. Demikian juga untuk Bawaslu yang disebut dengan Panitia Pengawas Pemilihan atau Panwaslih. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh.

KIP yang meliputi KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemilu dan pilkada di seluruh wilayah Aceh.

KIP Aceh beranggotakan 7 komisioner yang diseleksi oleh tim independen yang bersifat ad hoc dan menjabat selama lima tahun. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, komisioner KIP Aceh didukung oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh seorang sekretaris, bertanggung jawab terhadap segala urusan administrasi maupun kebutuhan lainnya untuk mendukung kerja-kerja KIP Aceh. Sekretariat KIP Aceh memiliki 45 pegawai negeri sipil (PNS) yang terdiri atas 23 pegawai organik (lingkungan Komisi Pemilihan Umum–KPU) dan selebihnya diperbantukan dari Pemerintah Aceh.

KPU/KIP mempunyai visi menjadi penyelenggara pemilihan umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan misinya membangun lembaga penyelenggara pemilihan umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan pemilihan umum; menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPR RI, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab; meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih, efisien dan efektif; melayani dan memperlakukan setiap peserta pemilihan umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan pemilihan umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.

KPU mempunyai perangkat organisasi (kelembagaan) dari tingkat nasional sampai tingkat yang paling bawah, yaitu Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pada tingkat nasional disebut KPU, dan jajaran ke bawahnya adalah KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)/Panitia Pemilihan Distrik (PPD), Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS.

Sedangkan untuk penyelenggara pemilu di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Untuk Aceh, nomenklaturnya adalah Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, KIP kabupaten/kota, PPK, PPS, dan KPPS.

Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KIP Aceh, Akmal Abzal, dalam Kuliah Pemilu “Warga Berdaya Pelopor Pemilu Jujur dan Adil” yang berlangsung di aula KIP Aceh, Jumat, 28 Oktober 2022, menjelaskan kalau PPK adalah ujung tombak di level kecamatan yang merupakan turunan dari KIP kabupaten/kota.

“Hanya saja, PPK dan PPS badan ad hoc (sementara) yang bekerja hanya 18 bulan. PPK, PPS, dan KPPS bertugas mempersiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan memastikan data-data yang ada di level kecamatan dan desa,” katanya.

Demikian sekelumit sejarah, tugas pokok dan fungsi KIP sebagai penyelenggara pemilu di Aceh. Dengan mengetahui informasi tersebut, masyarakat diharapkan bisa turut berkontribusi dan mendukung kinerja KIP untuk melangsung pemilu yang jujur, adil, dan akuntabel.[]

 Penulis adalah anggota Jurnalis Warga Banda Aceh dan mahasiswi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry. Berasal dari Kabupaten Simeulue.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *