Kategori
Literasi Kesehatan Jurnalisme Warga

Mengapa Ada Warga Enggan Vaksinasi?

Kamis, 24 Februari 2022, seperti biasa setiap sorenya untuk menghilangkan suntuk dan bosan, saya berjalan-jalan ke kawasan objek wisata Ulee lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Kawasan yang terdapat pelabuhan ini merupakan salah satu lokasi favorit masyarakat di Banda Aceh dan sekitarnya untuk dikunjungi setiap sorenya.

Walaupun penyebaran Covid-19 telah berlangsung sejak awal 2020, kawasan ini masih banyak diminati dan juga didatangi oleh pengunjung. Tak terkecuali bagi warga yang berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan cara berdagang makanan di sepanjang kawasan ini.

Kesadaran masyarakat terhadap Covid-19 bisa dibilang masih sangat rendah. Begitu juga ketidakpercayaan masyarakat terhadap Covid-19, masih banyak ditemukan di lapangan. Salah satunya adalah seorang pedagang berinisial D yang sehari-hari berjualan di kawasan wisata Ulee Lheue Banda Aceh.

Kamis sore itu saya berbincang-bincang dengan Bang D. Dia merupakan lulusan salah satu kampus yang ada di Banda Aceh. Menurut Bang D, kepercayaan masyarakat terhadap Covid-19 sangat minim. Begitu juga dirinya.

“Alasan masyarakat kurang percaya Covid-19 karena yang sering terinfeksi kebanyakan mereka yang sudah renta,” kata Bang D. Sedangkan bagi yang tidak memiliki riwayat penyakit bawaan menurutnya aman-aman saja. Bang D percaya Covid-19 itu ada, tetapi ia menilai tidak begitu berbahaya.

Di sisi lain sampai sekarang Bang D masih enggan untuk divaksinasi. Dia tidak percaya dengan penyebaran virus ini dan juga program vaksinasi yang digalakkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

“Untuk aktivitas sehari-hari saya juga tidak menggunakan masker, kalaupun saya memakai masker hanya saat ada tim keamanan yang melakukan pemantauan. Setelah mereka pergi saya mencopotnya kembali,” ceritanya.

Ia sendiri pernah ditegur dan dinasihati oleh pihak keamanan karena tidak taat prokes, tetapi dia hanya “mengiyakan” saja di depan petugas. Saat itu pihak keamanan juga menasihati Bang D supaya melakukan vaksinasi sehingga kesehatannya lebih terjamin ketika mencari nafkah. Tak hanya itu, dengan vaksinasi juga turut serta melindungi orang lain dari penularan.

Bang D berdalih, dirinya selama ini banyak berinteraksi dengan turis-turis dan juga orang-orang dari luar daerah, tetapi dia mengaku tidak mengalami gejala-gejala seperti terkena Covid-19. Ia juga punya pengalaman lain, adiknya sempat tidak sanggup bangun setelah disuntik vaksin.

Ia juga bingung dengan keadaan sekarang seolah-olah begitu mudahnya orang terinfeksi Covid-19. Mereka yang mengalami demam biasa sudah didiagnosa terinfeksi Covid-19. Padahal, menurut Bang D, di awal-awal pandemi muncul, mereka yang tertular virus ini cukup minum obat dan karantina mandiri saja di rumah.

Menurutnya program vaksinasi yang akhir-akhir ini sangat gencar hanyalah permainan politik antarnegara. Untuk menjaga stabilitas politik, pemerintah tidak enak untuk menolak vaksin yang berasal dari negara luar. Hal inilah yang membuatnya ragu soal vaksin. “Jika di awal-awal masyarakat bisa sembuh hanya dengan karantina 14 hari dan minum obat demam, mengapa sekarang harus perlu vaksin, dan seolah-olah dampak yang disebabkan oleh Covid-19 sangat berbahaya?”

Dia juga mengatakan bahwa negara Cina yang membuat vaksin dan menyuplai vaksin ke Indonesia malah tidak menggunakan vaksin tersebut. Namun, dia tidak menjelaskan dari mana mendapatkan informasi itu. Karena keraguannya itu pula Bang D tidak menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Dia menjalankan aktivitasnya tanpa masker, padahal sehari-hari dia berinteraksi dengan banyak orang, seperti wisatawan dari luar provinsi, bahkan mancanegara.

Bang D juga menceritakan, seorang kakek-kakek di kawasan itu yang berprofesi sebagai tukang becak selalu bekerja tanpa memakai masker. Saban hari dia mengantar jemput tamu-tamu asing ke pelabuhan, tetapi dia selalu sehat. Hal ini semakin menguatkan keraguan Bang D. Ia juga mengatakan, kejadian-kejadian ikutan pascaimunisasi seperti dugaan kelumpuhan yang dialami oleh individu tertentu turut memengaruhi persepsi masyarakat terhadap vaksin.

Pedagang lain yang saya temui di kawasan ini ialah Bapak M, seorang penjual gorengan. Dia mengatakan untuk urusan vaksinasi ini ikut saja apa yang dikatakan oleh kepala desa di kampungnya sehingga dia sudah mendapatkan suntikan vaksin dosis pertama. Namun, karena sekarang dia belum terlalu mendesak untuk keperluan administrasi, jadi belum mau melakukan vaksinasi untuk dosis kedua. Jika dibutuhkan baru dia akan ke rumah sakit katanya.

Ia juga menyatakan kebingungannya karena Covid-19 ini akan menjadi perhatian serius menjelang hari-hari besar Islam, sementara saat hari besar agama umat lain dianggap biasa-biasa saja. Dia juga bercerita jika anaknya yang masih usia sekolah awalnya tidak mau divaksinasi, tetapi setelah ditegur dan diberitahukan oleh guru kalau tidak suntik vaksin nantinya tidak bisa praktik di sekolah atau luar sekolah karena tidak ada sertifikat vaksin, barulah anaknya mau divaksinasi.

Sedangkan pedagang lainnya, Bapak Abd, yang juga berjualan di kawasan Ulee Lheue ini mengaku sangat ingin untuk divaksinasi. Namun, kondisinya yang mengalami penyakit diabetes melitus membuat harapannya sirna.[]

Ditulis oleh Maghfudh, jurnalis warga Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *