TIDAK semua perempuan mampu seperti Rasyidah. Yang berhasil menyulap trauma menjadi sumbu yang membakar semangatnya untuk menciptakan perubahan. Yang mampu mengubah rasa kehilangan menjadi percik-percik harapan. Bahwa kehilangan tidak harus selalu “diselesaikan” dengan ratapan pilu tak berujung. Bahkan kini, di usianya yang menjelang angka 70 tahun, masa-masa yang bagi kebanyakan orang digunakan untuk istirahat dan “menikmati” masa tua, Rasyidah justru masih aktif dalam dunia pergerakan sebagai paralegal.
***
Orang-orang memanggilnya Mami Rasyidah. Ia lahir beberapa tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Siang itu, Jumat, 18 November 2022, Mami Rasyidah menyambut kedatangan saya dengan hangat di rumahnya yang berada di depan surau di Gampong Alue Deah Teungoh, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Ini merupakan desa pesisir yang pernah luluh lantak akibat tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Rumah-rumah penduduk yang telah tersapu rata dengan tanah, kini berganti dengan rumah-rumah yang bentuknya lebih seragam. Rumah-rumah itu dibangun selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami. Salah satunya adalah rumah yang kini ditempati Rasyidah.
Kami duduk berlesehan di ruang tamu rumahnya yang mungil. Memang tak ada perabotan apa pun di sana selain sebuah nakas kecil yang rapat ke dinding. Namun, rumah ini menyimpan banyak kenangan dan sejarah. Khususnya bagi Rasyidah. Satu per satu kenangan itu berloncatan dari mulutnya. Ingatannya masih kuat. Ia mampu bercerita dengan runut.
“Saya ini istri anggota. Almarhum suami saya polisi Airud,” katanya membuka lembar pertama perjalanan hidupnya, “meski begitu, saya selalu merasa kalau saya ini masyarakat biasa sehingga saya bisa berbaur dengan siapa saja,” katanya.
Pernikahannya dengan almarhum suaminya, Hasbalah, yang seorang anggota Polri merupakan awal dari sejarah hidupnya yang panjang dan berkelok. Meski sama-sama berasal dari Kota Banda Aceh, pasangan ini kemudian hijrah ke Kabupaten Aceh Timur sejak tahun ‘90-an karena sang suami ditugaskan di Kota Langsa—ibu kota Aceh Timur sebelum pemekaran wilayah.
Pada masa itu, kondisinya tentu berbeda dengan sekarang. Aceh masih dalam situasi konflik. Namun, baik Rasyidah atau suaminya memiliki keyakinan, apa pun seragam yang mereka pakai, bukanlah alasan untuk membenci pihak-pihak yang berseberangan, apalagi kepada masyarakat sipil. Tidak ada yang menginginkan kondisi seperti itu. Semua orang mengharapkan damai dan kenyamanan.
Karena itu pula, meski tercatat sebagai istri polisi yang notabenenya anggota Bhayangkari, Rasyidah tidak ingin membangun jarak dengan masyarakat. Sebaliknya, ia menjadikan ini kesempatan untuk untuk membangun kedekatan dengan masyarakat. Rumahnya selalu terbuka bagi siapa saja. Karena dengan kedekatanlah komunikasi bisa terjalin. “Kalau ini terjalin, edukasi kepada masyarakat pun jadi mudah,” katanya.
Bekal pendidikan di Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala dan anggota PKK di kampungnya membuat Rasyidah tak bisa berdiam diri. Dia selalu merasa, sekecil apa pun pengetahuan yang ia miliki harus dibagi dengan orang lain.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konflik di Aceh yang awalnya seperti api dalam sekam, menjadi kian bergolak sejalan dengan tumbangnya Orde Baru dan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada Agustus 1998. Rentetan berbagai peristiwa mulai terjadi. Suara letusan senjata bukan lagi sesuatu yang asing di telinga masyarakat.
Banyak rumah warga dan sekolah dibakar. Pengungsian besar-besaran terjadi di setiap pelosok Aceh. Kontak senjata antara aparat keamanan dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka mulai sering terjadi. Tak hanya di kampung-kampung, tetapi juga terjadi di kota-kota.
Hingga suatu malam di tahun 2000-an, terjadi peristiwa yang tak bisa dilupakan Rasyidah hingga akhir umurnya nanti. Sekelompok orang tak dikenal menyerang gudang senjata di kawasan Kuala Langsa.
“Suami saya piket malam itu. Saat penyerangan itu, suami saya dan rekan-rekannya sudah tidak bisa keluar lagi karena pagar gudang sudah dikunci,” kata Rasyidah.
Rasyidah ingat, sesaat sebelum suaminya berangkat untuk bertugas malam itu, seperti biasa Hasbalah selalu memeluk dan mencium kening Rasyidah. Rasyidah mengantar kepergian suaminya dengan doa dan harapan agar pulang dengan keadaan tak kurang suatu apa pun.
“Tapi apa yang terjadi, suami saya pulang sudah jadi mayat. Suami saya satu-satunya yang menjadi korban dalam kontak senjata itu. Saya pingsan berkali-kali,” kenangnya.
Rasyidah ingin membawa pulang jenazah suaminya untuk dikuburkan di kampung halamannya Banda Aceh. Namun, kondisi yang sangat mencekam saat itu, tak memungkinkan untuk menempuh jalan darat. Rasyidah pun menghubungi Kapolda Aceh dan menyampaikan permintaan terakhirnya untuk membawa pulang suaminya ke Banda Aceh. Akhirnya diputuskanlah lewat udara dengan helikopter.
Bagi Rasyidah, itu menjadi hari dan perjalanan yang paling lama untuknya. Di depannya terbujur mayat sang suami yang sudah berbalut kain kafan. Tiga anaknya lunglai tak berdaya di sampingnya. Rasyidah menggigit bibirnya kuat-kuat selama perjalanan itu hingga tak merasakan perih dan darah yang keluar. Hatinya terus berzikir.
Sepeninggal suaminya, kehidupan Rasyidah dan anak-anaknya berubah. Ia masih tinggal di Langsa. Malam-malam yang dilaluinya penuh dengan mimpi buruk. Ia seperti tak punya lagi stok air mata. Rasyidah tak punya kata yang tepat untuk menggambarkan penderitaan yang ia dan anak-anaknya alami.
Peristiwa ini begitu mengguncang Rasyidah. Juga tiga buah hatinya yang saat itu masing-masing berusia kelas satu SMA, kelas satu SMP, dan kelas satu SD. Saking traumanya, anak-anaknya sampai berlarian ke jalan hanya dengan memakai celana dalam. Rasyidah fokus menyembuhkan anak-anaknya dari trauma dengan membawa mereka ke psikater. Termasuk untuk dirinya sendiri.
“Pada saat itu saya merasa lebih baik mati daripada hidup sengsara. Kapan amannya Aceh ini. Kenapa selalu rusuh. Kontak senjata di mana-mana,” ceritanya mengenang sekelumit peristiwa pahit itu.
Sampai di suatu malam, mimpi yang ganjil hadir dan menjadi titik balik bagi Rasyidah untuk bangkit. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang mengatakan kalau ia adalah sosok yang hebat. Seseorang yang diuji karena Allah tahu ia mampu dan agar bisa lebih tahu apa itu makna hidup.
Tanpa diduga, mimpi itu ternyata memberikan efek yang luar biasa bagi psikologis Rasyidah. Esoknya ia merasa jiwa dan pikirannya lebih ringan; lebih tenang. Ia menjadi bisa berpikir realistis dan rasional. Hingga akhirnya Rasyidah sampai pada satu kesimpulan, apa pun yang terjadi di dunia ini tak terlepas dari campur tangan Allah. Untuk menghidupi keluarga, Rasyidah membuat kue dan nasi gurih untuk dititipkan ke warung-warung. Belakangan ia mulai membuat rantangan atau katering.
Rupanya, perihnya hidup tak berhenti sampai di situ. Bermula setelah putra sulungnya lulus SMA di Langsa, Rasyidah lantas menyekolahkannya ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar. Tak lama setelah si sulung masuk asrama, Rasyidah mengalami kecelakaan. Kaki kanannya terlindas truk reo hingga nyaris putus.
Peristiwa nahas itu terjadi ketika Rasyidah hendak menyelamatkan putri bungsunya yang SD di tengah situasi kontak senjata di Langsa. Dalam kondisi panik dan tak keruan seperti itu, sebuah truk reo melintas dan Rasyidah tak sempat mengelak. “Kalau saya tak menyelamatkan anak saya, dia yang menjadi korbannya.”
Rasyidah pun dibawa berobat ke Medan. Setelah kecelakaan itu, dia hanya bisa berjalan dengan bantuan tongkat sebagai penyangga. Secara fisik, ia tak lagi sebebas dulu untuk bergerak. Namun, hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangatnya. Putri bungsunya saat itu sudah dikirimkan ke Banda Aceh dan melanjutkan sekolahnya di ibu kota provinsi.
Menjadi Paralegal Komunitas
Belum lagi ia pulih, peristiwa besar lain terjadi. Gempa dan tsunami Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004. Bencana alam ini telah merenggut sebagian besar keluarga Rasyidah yang menetap di Gampong Alue Deah, ayah ibunya, adik-adik, hingga sanak keluarga. Termasuk gadis kecilnya yang tinggal bersama kakak Rasyidah. Kehilangan keluarga dan putrinya seolah menjadi pelengkap segala penderitaan yang dialami Rasyidah.
Dari Langsa, Rasyidah bergegas ke Banda Aceh setelah mendengar terjadinya gempa. Momen ini pula yang membuatnya memutuskan kembali ke kampung asalnya di Alue Deah Teungoh, Banda Aceh. Sama seperti warga lainnya, Rasyidah tinggal di barak pengungsian. Bencana ini menguji nilai-nilai kemanusiaan yang telah lama tumbuh dalam diri Rasyidah. Ia mengambil peran untuk membantu pengungsi dengan menjadi ketua barak yang penghuninya dari empat dusun di desa itu.
“Saya tak peduli dengan kondisi saya. Ke mana-mana saya bertongkat. Kaki saya ini, setelah tiga tahun baru sembuh,” ujar Rasyidah sambil menunjukkan bekas luka di betis kanannya. Kadang-kadang ia harus selonjor karena kakinya terasa pegal.
Sebenarnya, dalam situasi seperti itu bukannya Rasyidah tak terguncang. Trauma karena konflik dan kehilangan tsunami masih belum sembuh betul. Hanya saja, ketika ia melihat orang-orang di sekelilingnya yang mengalami trauma karena peristiwa mahadahsyat yang terjadi dalam seketika, membuat pikirannya bergerak dengan cepat. Kalau dia pun turut melarutkan dirinya dalam kesedihan, tamatlah riwayatnya sebagai seorang manusia.
Ia melihat banyak orang linglung karena kehilangan keluarga dan tempat tinggal. Juga terguncang karena tergulung oleh tsunami.
“Macam model saya lihat orang. Ada yang linglung. Histeris. Kita bilang a mereka bilang z. Saya melihat orang-orang korban tsunami ini lebih trauma dari konflik.”
Dengan segala keterbatasannya secara fisik, Rasyidah pun bertekad mengurusi para pengungsi. Ia menyusun program-program pemulihan trauma semacam kegiatan psikososial, mencari akses untuk sanitasi dan air bersih. Ia menjadi juru komunikasi setiap ada perwakilan lembaga atau LSM baik lokal maupun asing yang datang ke barak.
Di antara hasil kerja kerasnya ialah hadirnya bale inong atau balai perempuan yang dibangun oleh Unifem (Badan Dana Pembangunan PBB untuk Perempuan) sebagai wadah perempuan untuk berkumpul di Banda Aceh, khususnya di Kecamatan Meuraxa. Atas saran Rasyidah pula, bale inong ini dibangun sebanyak tiga unit berdasarkan pengelompokan wilayah pesisir, pedalaman, dan perkotaan.
Ia juga sering menjadi tujuan tamu-tamu dari Jepang untuk belajar tentang pemulihan trauma dan bangkit dari bencana tsunami. Ini pula yang membuat Rasyidah bisa menjejakkan kakinya di Jepang pada 2014.
Di masa rehab rekon ini pula Rasyidah terhubung dengan LSM Flower Aceh. Salah satu LSM tertua di Aceh yang kerjanya terfokus pada isu-isu pemberdayaan dan advokasi perempuan sejak masa konflik. Pascatsunami, Flower memercayakan Rasyidah sebagai community organizer yang menjembatani segala kebutuhan pengungsi, terutama perempuan dan anak.
Di masa-masa sulit itu, jam tidur Rasyidah sangat pendek. Ia terbiasa tidur dini hari dan bangun pagi-pagi sekali. Pikirannya selalu penuh dengan agenda-agenda yang ingin dilaksanakan esok hari. Ia menjadi tumpuan harapan bagi banyak orang. Ia mengadvokasi agar warga mendapat relokasi tempat tinggal. Memfasilitasi pelatihan menjahit. Hingga membuat lomba untuk menghibur penghuni barak agar tak dibebat kejenuhan.
“Saya tidak lagi memikirkan tentang diri saya. Karena kalau hanya untuk pribadi, saya kan punya peninggalan pensiun dari almarhum suami saya, tapi saya selalu berpikir warga ini harus hidup dengan layak,” ujarnya.
Bahkan, saking sibuk dan banyaknya beban hidup yang dipikul saat itu, Rasyidah merasa dirinya jauh lebih tua dari sekarang. Sejenak Rasyidah berhenti bercerita. Ia memanggil seseorang yang bernama Mak Intan untuk mengambilkan album foto di kamar. Sesaat kemudian Mak Intan keluar dengan album putih tebal. Rasyidah mengambil album itu dan membuka halaman pertamanya. “Ini saya dulu,” tunjuknya pada sesosok perempuan berbaju batik merah dan bersarung dengan kerudung biru laut. Saya tercengang karena ia memang terlihat lebih tua dari sekarang.
Meski rehab rekon Aceh sudah lama berlalu, tetapi kerja-kerja sosial yang dilakukan Rasyidah tidak turut berhenti. Bersama Flower Aceh ia tetap memainkan perannya di masyarakat. Usia yang semakin bertambah sama sekali tak membuatnya surut karena banyaknya persoalan yang dihadapi perempuan di level akar rumput. Utamanya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Rasyidah berusaha senantiasa hadir untuk mendampingi mereka.
Jalan panjang yang dilalui Rasyidah telah membawanya pada garis takdir menjadi seorang paralegal komunitas. Kini ia dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan perempuan di tingkat akar rumput.
Saat ini Rasyidah juga menjadi ketua kelompok pengajian di kampungnya. Momen-momen pengajian ini ia manfaatkan untuk mengedukasi perempuan tentang pentingnya memahami hak-hak mereka sebagai perempuan; tentang adanya kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki; hingga tentang pentingnya perempuan melek hukum. Ia juga aktif dalam forum-forum yang memperjuangkan hak-hak korban konflik Aceh.
Rasyidah tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidupnya. Baginya, setiap perjuangan selalu dimulai dari adanya kepelikan yang dihadapi oleh seseorang.
“Saya selalu ingin membakar semangat para perempuan, baik dia sebagai korban atau sebagai masyarakat biasa,” ujarnya optimistis.[]
2 tanggapan untuk “Jalan Panjang Perjuangan Rasyidah, Sembuhkan Trauma Konflik dan Tsunami hingga Jadi Paralegal”
Ammazing Ihan ….
Trims, Pak Edie.